catatan siapa ?

ilmu yang beramal, amal yang berilmu




“Pada zaman sekarang ini, apakah yang namanya kekhalifahan harus berwujud dengan nama khilâfah, bukankah negara republik atau kerajaan pada skala tertentu bisa disebut khilâfah? Apapun namanya, republik atau kerajaan, kalau disitu terlaksana dengan baik nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, keislaman, pemberdayaan, tidak terjadi praktek-praktek korupsi, penindasan, kezaliman, nepotisme, tirani, dan kemudian terjadi mekanisme kepemimpinan yang islami, bisa disebut sebagai kekhalifahan itu sendiri. Dalam konteks Indonesia yang sudah berbentuk republik, tidak perlu lagi diubah namanya menjadi kekhalifahan.”
(Hidayat Nur Wahid)


konsep khilâfah dan nation-state memiliki benturan pada tingkat institusional. Nation-state, mengutip Azyumardi Azra, berbenturan dengan konsep khilâfah, atau institusi politik Islam yang dibentuk berdasarkan religiously based super stated, atau negara yang dibentuk berdasarkan basis-basis keimanan. Konsep nation-state yang berdasar kepada kriteria-kriteria etnisitas, kultur, dan wilayah, memiliki konsekuensi yang mengabaikan garis-garis religius dengan tuntutan logis berupa liberalisasi politik dari kontrol atau pengaruh Islam. Sistem nation-state modern, yang lebih menekankan kepada kesetiaan kebangsaan dari pada persaudaraan Islam (ukhuwwah Islâmiyyah), kedaulatan rakyat (vox populi) dari pada kedaulatan Tuhan (vox dei), hak-hak wanita dalam representasi politik, tidak sesuai dengan doktrin-doktrin syariat. Oleh karena itulah, nation-state yang merupakan konsep kenegaraan modern, akan melakukan liberalisasi dari pengaruh dan doktrin agama agar sesuai dengan tuntutan-tuntutan modernitas.

Dalam konteks historisitas Islam, benturan antara konsep khilâfah dan nation-state ini diawali dari runtuhnya kekhalifahan ‘Utsmâniyyah di Turki pada tahun 1924, yang kemudian melahirkan negara-negara dalam konsep nation state, seperti Turki itu sendiri, kemudian Irak, Syiria, Pakistan, dan sebagainya.

Realitas ini kemudian melahirkan kemunculan gerakan-gerakan Islam yang memiliki cita-cita untuk mendirikan kembali khilâfah Islâmiyyah sebagai konsekuensi dari ideologi Islam yang dianut. Contoh dari gerakan ini adalah Hizb al-Tahrîr yang didirikan oleh Taqî al-Dîn al-Nabhâni pada 1952 di Yordania, atau sebelumnya Gerakan al-Ikhwân al-Muslimûn yang didirikan oleh Hassân al-Banna pada 1928 di Mesir. Namun demikian, Meskipun kedua gerakan ini memiliki kesamaan cita-cita, keduanya memiliki perbedaan strategi yang merupakan implikasi dari pemaknaannya terhadap Islam. Hizb al-Tahrîr menolak secara tegas konsep demokrasi karena memandangnya sebagai produk kuffâr yang selain bertentangan dengan konsep kedaulatan Tuhan juga memandangnya sebagai bagian dari strategi penjajahan dunia barat untuk melemahkan kekuatan Islam. Sementara al-Ikhwân al-Muslimûn memilih jalur demokrasi karena melihat bahwa pada batas-batas tertentu secara substansial demokrasi memiliki kesamaan dengan nilai-nilai Islam, selain itu al-Ikhwân al-Muslimûn menerima demokrasi dalam konteks perlunya perjuangan politik sehingga dakwah bisa membangun pengaruhnya dalam kekuasaan, dan melakukan perubahan melalui instrumen kekuasaan politik yang dimiliki.

Dalam konteks politik Indonesia, Partai Keadilan (Sejahtera) yang banyak mengambil rujukan pemaknaan Islam dari Gerakan al-Ikhwân al-Muslimûn sempat dipandang sebagai gerakan Islam fundamentalis yang menyimpan hidden agenda menegakkan kembali al-khilâfah al-Islâmiyyah. PKS dipandang melakukan double standard dalam arti melakukan aktivitas politik yang plural dan inklusif, namun dalam aktivitas gerakan dakwah sesungguhnya ekslusif dan bahkan secara pure hanya melakukan copy-paste dari gerakan revivalisme Islam di Timur tengah tanpa melakukan “indigenisasi” dengan perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia.



Isu penegakkan kembali khilâfah Islâmiyyah sebetulnya lebih didominasi pada tataran “ekstra parlemen,” antara lain oleh Hizb al-Tahrîr Indonesia yang merupakan bagian dari Hizb al-Tahrîr di Yordania, dan Gerakan Jamâ‘ah Muslimîn Hizb Allâh yang berpusat di Bogor. Kedua gerakan ini memandang bahwa khilâfah Islâmiyyah merupakan solusi dari seluruh kompleksitas permasalahan umat Islam.

Pandangan Hidayat Nur Wahid tentang Khilâfah dan Nation State: haruskah dua sisi saling negasi?

Secara normatif menurut Hidayat Nur Wahid, sistem demokrasi memberikan ruang yang luas bagi penyaluran aspirasi rakyat, keinginan penegakan kembali al-khilâfah al-Islâmiyah merupakan hal yang sah. Namun dalam konteks demokrasi pula, aspirasi tersebut harus disalurkan melalui mekanisme demokrasi prosedural. Hidayat mengatakan bahwa aspirasi tersebut mengharuskan dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, oleh karena itu aspirasi ini harus diusulkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD, serta harus disetujui sepertiga anggota MPR. Sehingga perjuangan menegakkan khilafah maupun syariah, dapat memanfaatkan "mashlahat" demokrasi yang memberikan ruang dalam kebebasan berekspresi dan menyalurkan pendapat ini.

Namun demikian, Hidayat Nur Wahid berpandangan bahwa aspek yang lebih objektif, konkret, dan aktual lebih ditunggu dibandingkan dengan hal yang simbolis, meskipun ia tidak sepakat dengan dikotomi simbolis-substantif, menurutnya,

“Jangan berpolemik mengamandemen UUD 1945 untuk menghadirkan pemerintahan Islam (khilâfah Islâmiyah). Kita sudah lelah dengan polemik, akan lebih bijak jika berkonsentrasi untuk melaksanakan ajaran agama. lebih penting adalah agar seluruh masyarakat Indonesia melaksanakan ajaran agama seperti dalam pasal 29 UUD 1945. Jika agama dilaksanakan oleh semua umat beragama pada tingkat moral dan etos kerja saya kira akan membawa dampak positif bagi moral bangsa.

Kekhilafahan dalam pandangan Hidayat Nur Wahid, adalah sebuah aktivitas berpolitik dimana nilai-nilai Islam teraplikasikan, dimana peran serta umat Islam untuk memberdayakan umat berhasil, dimana yang munkar bisa diminimalisasi, dan yang ma‘rûf bisa dimaksimalkan. Eksistensi kekhalifahan itu ada, apabila dilihat dari sejarah Khulafâ’ al-Râsyidîn, Umayyah, ‘Abbâsiyyah, Mamâlik, dan sebagainya. Hidayat Nur Wahid berpandangan bahwa bisa saja yang disebut khilâfah muncul menjadi kekhalifahan-kekhalifahan kecil atau lokal. Lebih lanjut menurut Hidayat,

“Pada zaman sekarang ini, apakah yang namanya kekhalifahan harus berwujud dengan nama khilâfah, bukankah negara republik atau kerajaan pada skala tertentu bisa disebut khilâfah? Apapun namanya, republik atau kerajaan, kalau disitu terlaksana dengan baik nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, keislaman, pemberdayaan, tidak terjadi praktek-praktek korupsi, penindasan, kezaliman, nepotisme, tirani, dan kemudian terjadi mekanisme kepemimpinan yang islami, bisa disebut sebagai kekhalifahan itu sendiri. Dalam konteks Indonesia yang sudah berbentuk republik, tidak perlu lagi diubah namanya menjadi kekhalifahan.”



Dari pernyataan Hidayat Nur Wahid di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Hidayat Nur Wahid tidak terjebak dalam dikotomi antara khilâfah dengan nation-state. Baginya dalam konteks Republik Indonesia sebagai nation-state pun, apabila nilai-nilai substantif dari khilâfah Islâmiyah seperti keadilan, kesejahteraan, pemberdayaan, dan sebagainya telah teraplikasikan dengan baik, maka dalam konteks tersebut sesungguhnya telah berdiri khilâfah Islamiyyah.

Apa yang menjadi pandangan Hidayat Nur Wahid ini sesungguhnya relevan dengan realitas historis kekhilafahan Islam. Pandangan Hidayat Nur Wahid tentang khilâfah Islâmiyah sebagai nation-state, , atau kekhilafahan-kekhilafahan kecil sebetulnya telah terjadi pada masa ‘Abbâsiyyah, dan masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah. Hal ini dapat dilihat dari keberlangsungan pemerintahan-pemerintahan Islam masa itu pada rentang waktu yang sama.

Kalau kita melihat, pada tahun 912 M, di Spanyol ‘Abd al-Rahmân al-Nâsir mulai menggunakan gelar khalîfah. Padahal pada waktu yang sama kekhalifahan Bani ‘Abbâsiyyah masih berlangsung di bawah pengaruh Bani Buwaihi. Bahkan pada periode 912-1013, khilâfah Islâmiyah di Spanyol ini telah mencapai puncak kejayaan dan menyaingi Daulah ‘Abbâsiyyah di Baghdâd.

Demikian pula halnya yang terjadi pada masa Dinasti ‘Utsmâniyyah di Turki. Pada masa pemerintahan Turki Utsmani berlangsung, berdiri dua pemerintahan Islam, yakni Dinasti Syafawi di Persia, dan Dinasti Mughal di India. Kemunculan Kerajaan Syafawi di Persia dan Dinasti Mughal di India yang menyaingi Dinasti Utsmani ini, memiliki konteks yang sama dengan kekhilafahan Islam di Spanyol, yakni keberlangsungan pemerintahan Islam secara bersamaan pada era yang sama. Oleh karena itu, sebagaimana di Spanyol, kedua Dinasti ini juga dapat disebut sebagai khilâfah Islâmiyyah.. Artinya adalah, pada masa itu terdapat begitu banyak kekhalifahan Islam, sehingga jika pada konteks kekinian kekhilafahan dibentuk berdasarkan "kekhilafahan2 kecil", maka itu tidak bertentangan dengan fakta historis di atas.

Apabila yang menjadi perdebatan adalah bahwa kekhilafahan yg dimaksud diatas adalah sistem monarki, sehingga tidak pantas disebut sebagai khilafah Islamiyyah, maka sebetulnya sistem ini telah dipakai jauh pada masa Khilâfah Bani ‘Umayyah dan ‘Abbâsiyyah. Keberlangsungan pemerintahan-pemerintahan Islam dalam rentang waktu yang bersamaan ini, sebetulnya mengindikasikan bahwa khilâfah Islâmiyyah dapat berbentuk dalam format nation-state.. sehingga umat Islam hendaknya tidak dibutakan oleh hadits tentang lima fase perjalanan Umat Islam yang akan diakhiri dengan berdirinya kembali KHilafah ala minhajin nubuwwah, yg keshahihan haditsnya saja masih diperdebatkan.

bagaimana mungkin sebuah perjuangan dakwah ilallah didorong oleh hadits yg bermasalah? jangan2 sebagian umat Islam terjebak dalam utopia indah tentang khilafah di akhir zaman, sementara metode atau mekanisme untuk menegakkannya sendiri masihjauhpanggang dari api.

Sistem demokrasi diperlukan dengan memanfaatkan mashlahat yang dimilki oleh demokrasi, yaitu memberikan ruang untuk menyalurkan pendapat. sehingga, semestinya umat Islam berjuang melalui jalur ini, dan membentuk UU yang mencerminkan syariat Allah, apapun istilah yg digunakan dalam UU itu. sehingga demokrasi menelurkan UU yang bersesuaian dengan syariat, dan dilaksanakan dengan penuh perhitungan.

Demokrasi memang memiliki kekurangan, sebagaimana sistem khilafah yg didamba-dambakan oleh para aktivis Islam itu juga memiliki kekurangan, seperti apa yg terjadi pada masa Yazid ibn Muawiyah. hendaknya para aktivis Islam tidak menutup mata atas "noda hitam" kekhalifahan pada masa-masa 'Umayyah maupun 'Abbasiyyah.

Apabila merujuk kepada definisi khilâfah yang diberikan oleh al-Mawardi dan Ibn Khaldun, bahkan al-Mamlakah al-Su’ûdiyyah al-Islâmiyyah di Timur Tengah sekarang ini, memiliki relevansi untuk disebut sebagai khilâfah Islâmiyah karena landasan kenegaraan yang dibangun di Arab Saudi sama dengan konteks kenegaraan Khilâfah Bani Umayyah dan ‘Abbâsiyyah, yakni berdasar kepada Islam.

Fenomena ini, menurut Esposito, disebabkan karena di kalangan kaum Muslimin, terdapat kesamaan pandangan terhadap “bukan negara Islam,” tetapi banyak perdebatan mengenai “Negara Islam,” bisakah berdiri dalam format nation-state, ataukah harus dalam bentuk global state?

Dalam konteks ini, pandangan Hidayat Nur Wahid bahwa, (1) konsep Negara Indonesia yang sudah berbentuk republik tidak memerlukan perubahan nama menjadi khilâfah, (2) yang lebih penting adalah esensi dari nilai-nilai Islam dapat tegak, dan (3) pada saat yang sama tidak perlu ada dikotomi antara formal simbolis dengan kultural substantif, menjadi jawaban untuk mempertemukan dikotomi antara khilâfah dan nation-state.

Dari sini, menurut Azyumardi Azra, Hidayat Nur Wahid dan PKS, tidaklah bertujuan untuk membentuk “Negara Islam” dan sebagainya, tetapi bertujuan untuk membentuk masyakarat madani. Dan hal semacam itu, tidak hanya diperjuangkan lewat level kultural masyarakat, tetapi juga secara struktural melalui Partai Keadilan Sejahtera.

***
untuk tambahan: Secara etimologis, kata khilâfah merupakan masdar dari asal kata khalafa, yakhlifu, khilâfatan, yang berarti menggantikan, menempati tempatnya. Pada masa awal Islam, istilah khalîfah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan nabi dalam kepemimpinan. Abû Bakr, sebagai pengganti Rasulullah disebut sebagai khalîfah Rasûlullâh dalam posisinya sebagai pengganti Rasul, yang dalam perkembangannya disebut sebagai khalîfah saja. ‘Umar ibn al-Kha-ttâb, menyebut dirinya sebagai khalîfah khalîfati Rasûlillah (pengganti dari pengganti Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amîr al-Mu’minîn (komandan orang-orang yang beriman) yang memiliki pengertian yang sama. Sedangkan pada masa ‘Alî ibn Abî Tâlib, istilah khalîfah lebih identik dengan Imâm.

Mulai masa kepemimpinan Abû Bakr sampai kepada ‘Alî ibn Abî Tâlib, disebut sebagai Khilâfah Râsyidah, dan para khalifahnya disebut sebagai al-Khulafâ’ al-Râsyidûn (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk).

Sedangkan menurut istilah, para pemikir politik Islam memberikan definisi yang beragam.
Menurut al-Mawardi (975-1059 M) istilah imâmah ditujukan sebagai pengganti dan pelanjut fungsi kenabian, dalam penjagaan agama dan pengatur urusan dunia.

Menurut ibn Khaldun (1332-1406 M) khilâfah adalah pengemban seluruh urusan umat sesuai dengan kehendak pandangan syariat, dan kemaslahatan-kemaslahatan mereka baik ukhrâwiyyah, maupun duniawiyah yang kembali kepada kemaslahatan ukhrâwiyyah.

Sementara menurut Taqî al-Dîn al-Nabhâni (1909-1979 M) khilâfah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin, untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam, dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia.

Sedangkan menurut al-Maudûdi (1903-1979 M), bentuk pemerintahan yang benar adalah adanya pengakuan negara akan kepemimpinan dan kekuasaan Allah dan Rasul-Nya, di bidang perundang-undangan. Menyerahkan segala kekuasaan legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi kepada keduanya, dan meyakini bahwa khilâfah-nya itu mewakili Sang Hakim yang sebenarnya yaitu Allah SWT.

Dari definisi-definisi tentang khilâfah di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa khilâfah Islâmiyyah adalah kepemimpinan kaum Muslimin di seluruh dunia, untuk menegakkan syariat Islam secara menyeluruh, bagi kemaslahatan akhirat dan kemasahatan dunia.

Adapun nation-state, secara etimologis terdiri dari dua kata, nation yang berarti bangsa, dan State yang berarti Negara. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, secara hukum “bangsa” diartikan sebagai rakyat atau orang-orang yang berada di dalam suatu masyarakat hukum yang terorganisasi. Kelompok ini umumnya menempati bagian wilayah tertentu, berbicara dalam bahasa yang sama, memiliki sejarah, kebiasaan, kebudayaan yang sama, serta terorganisasi dalam suatu pemerintahan.

Sementara “negara” Menurut Miriam Budiardjo adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat, dan yang berhasil menuntut dari warganya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan monopolistis dan kekuasaan yang sah.

Dari kedua pengertian ini, nation lebih mengarah kepada sosio-kultural-antropologis, sementara state lebih mengarah kepada struktural-politis.

Penyatuan dari kedua pemaknaan ini dapat disimpulkan bahwa nation-state adalah konsep kesatuan masyarakat berdasarkan letak geografis dengan batas teritorial tertentu, yang memiliki kesamaan sejarah, kultur, ras atau etnik, yang dipimpin oleh pemerintahan yang menegakkan hukum untuk mendapatkan ketaatan rakyatnya.



Islam Integral,
madzhab alternatif dari dikotomi Islam struktural-Islam kultural


”Opsinya bukan hanya seperti gincu yang formalis, atau garam yang substansialis. Tetapi ia lebih seperti villa, yang bukan hanya indah secara fisik (formatif), tetapi juga nyaman secara psikis (substantif). Keduanya adalah sebuah sinergi.”


Wacana Umum seputar Artikulasi Politik Islam
Artikulasi politik Islam adalah aktualisasi pada tataran praksis dari pemikiran politik Islam. Pemikiran politik Islam itu sendiri merupakan gagasan-gagasan intelektual yang menjadikan dua sumber utama Islam, yakni al-Qur’ân dan al-Hadîts sebagai rujukan. Interpretasi terhadap dua rujukan ini kemudian terbagi dalam dua kelompok, yakni kelompok struktural, dan kultural.

Pendekatan kultural adalah sebuah strategi islamisasi dengan cara mempengaruhi perilaku sosial dan pandangan masyarakat tanpa perlu menerapkannya secara formal pada level negara. Sementara pendekatan struktural diartikan sebagai strategi yang memandang bahwa islamisasi harus dilakukan melalui struktur negara secara legal formal. Artikulasi politik dari kedua konsep ini, kemudian dibedakan antara gerakan yang bertujuan pada perubahan masyarakat (the society aimed movement) dan perubahan negara (the state aimed movement).


Dalam konteks implementasi politik, aktualisasi dari dua varian ini, diwakili oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai representasi dari kaum kultural, dan di pihak lain Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai representasi dari kaum struktural.
PKB dan PAN dipandang mewakili kelompok kultural karena kedua partai ini, meskipun berasal dari rahim komunitas Islam yakni Nahdât al‘-Ulamâ’ dan Muhammadiyyah, namun keduanya tidak memperjuangkan syariat Islam secara formal dalam konstitusi. Keduanya bahkan bukan merupakan partai yang menjadikan Islam sebagai asas. Sementara PPP dan PBB dipandang sebagai partai yang merepresentasikan Islam struktural karena kedua partai ini memiliki cita-cita untuk memformalisasikan syariat Islam dalam level konstitusional, hal ini tampak pada praksis politik kedua partai tersebut dalam memperjuangkan kembali tujuh kata dalam Piagam Jakarta

Perdebatan antara dua varian politik Islam ini tidak pernah mencapai titik temu karena kaum struktural cenderung memahami yurisprudensi hukum Islam (al-Qur’ân dan al-hadîts) melalui pendekatan yang tekstual, sehingga selalu terjebak dalam idealisme-idealisme yang normatif. Sementara kaum kultural memiliki kecenderungan untuk memahami yurisprudensi hukum Islam itu dengan pendekatan kontekstual yang mengakibatkannya terjebak dalam artikulasi politik yang kultural-substantif semata.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah artikulasi politik Islam memang harus mengacu pada dikotomi tersebut, ataukah diperlukan adanya alternatif lain? Jawaban dari pertanyaan ini akan dipaparkan pada pembahasan berikut.


Konsep Integralisme Islam sebagai Alternatif dalam Artikulasi Politik Islam

Dari perbedaan approach dalam memahami yurisprudensi hukum Islam sebagaimana dipaparkan diatas, perdebatan antara kaum struktural dan kultural ini pada akhirnya tidak pernah berkesudahan. Dari sini, menarik untuk dikembangkan, bahwa diperlukan alternatif lain diluar kedua mainstream artikulasi politik Islam ini.

Kebutuhan adanya alternatif ini, juga didukung oleh realitas politik. Selain fakta bahwa partai kultural dan struktural Islam mengalami penurunan suara pada Pemilu 2004 dibandingkan Pemilu 1999, survey yang dilakukan oleh Lembaga Riset Informasi pada bulan Februari 2008 menunjukkan adanya kecenderungan bahwa partai-partai Islam, baik yang berbasis kultural maupun yang berbasis struktural, mengalami stagnasi bahkan penurunan jumlah suara apabila dibandingkan dengan Pemilu 2004.

Perolehan Suara Partai Islam
pada Pemilu 1999, 2004, dan survey Pemilu 2009


Partai Hasil Perolehan Suara Pemilu Legislatif (%)
1999 2004 2009*
PKB 12,6 10,57 2,33
PAN 7,1 6,44 5,13
PPP 10,7 8,15 2,86
PBB 1,94 2,62 0,9
PK(S)** 1,3 7,34 11,5

* Survei dilakukan oleh Lembaga Riset Informasi pada 8-16 Februari 2009 di 33 propinsi (99 kota/kabupaten atau 3 kabupaten di 33 propinsi). Jumlah responden sebanyak 1.890 orang yang berusia di atas 17 tahun. Metode yang digunakan wawancara tatap muka dengan kuesioner terstruktur. Margin of error 2,23%, pada tingkat kepercayaan 95%.
** PKS sebagai pembanding yang tampak lebih prospektif.



Berangkat dari tren penurunan suara partai Islam kultural dan struktural ini, dibutuhkan alternatif lain dalam artikulasi politik Islam di Indonesia. Sebuah alternatif yang sesuai dengan konteks keindonesiaan saat ini, namun dengan tetap merujuk pada landasan fundamental Islam mengingat realitas Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk mayoritas Muslim—sekaligus dengan populasi Muslim terbesar di dunia—yang membawa pada kesimpulan bahwa menegasikan Islam dalam artikulasi politik nasional menjadi hal yang mustahil. Dibutuhkan alternatif politik Islam yang tidak terjebak dalam dikotomi substantif-kultural dan formalis-struktural yang sudah tidak lagi diminati publik. Sebuah alternatif yang penulis sebut dengan istilah “integralisme Islam” atau “Islam integral.” Karakteristik dari Islam integral ini akan dipaparkan pada pembahasan berikut.



Karakteristik Konsep Integralisme Islam

Konsep integralisme Islam yang penulis maksud, memiliki karakteristik-karakteristik yang membedakannya dengan nalar kultural maupun struktural dalam politik Islam. Karakteristik-karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:

1. Integrasi antara nalar tekstual dan kontekstual.
Karakteristik pertama dari konsep Islam integral ini adalah ketidakterjebakan dalam memahami dua landasan fundamental islami (al-Qur’ân dan al-hadits), yang selama ini dipahami hanya melalui pendekatan tekstual, atau kontekstual semata, terkait relevansi kedua pedoman hidup Muslim tersebut dengan konteks keindonesiaan saaat ini.
Karakteristik ini dibutuhkan, karena pendekatan yang hanya didasarkan pada pemahaman tekstual tanpa menyertakan konteks ruang dan waktu, akan menyebabkan rigiditas dalam berinteraksi dengan perkembangan zaman yang selalu berubah. Pemahaman terhadap realitas, yaitu kenyataan bahwa peradaban dan daya nalar manusia senantiasa berkembang, semestinya menjadi perhatian daripada sekadar memahami landasan fundamental islami tanpa menyertakan kontekstualisasinya.
Sebaliknya, dalam konsep integralisme Islam, pemaknaan terhadap konteks “kini” dan “disini” juga tidak mengabaikan Qur’ân dan hadîts yang merupakan fondasi kehidupan setiap Muslim. Dalam hal ini, Islam integral memberikan akomodasi antara teks dan konteks, sehingga tetap tekstual tanpa mengabaikan konteks, dan tetap kontekstual tanpa meninggalkan teks


2. Integrasi antara nalar substantif-kultural dengan nalar formalis-struktural

Karakteristik kedua dari konsep integralisme Islam ini merupakan sintesis dari paham kultural dan struktural. Dalam hal ini, konsep Islam integral kemudian menjadi kritik bagi Islam kultural dan Islam struktural itu sendiri. Contoh kritik bagi kedua pendekatan tersebut adalah sebagai berikut, bahwa nalar kulturalisme mengandaikan perbaikan dari problematika kebangsan dapat dicapai hanya melalui semangat atau ”karakter sufi” yang seyogyanya dianut oleh seluruh komponen bangsa, sehingga diharapkan dengan hati para sufi, betapapun sesungguhnya bobrok suatu sistem, kejernihan hatinya mampu menundukkan kepentingan pribadinya. Jika masyarakat sudah memahami spirit sufistik ini dengan baik maka institusionalisasi menjadi tidak penting. Nalar ini kemudian sepenuhnya menghindari institusionalisasi.
Permasalahannya adalah, amat kecil kemungkinan (atau justru tidak mungkin) menyadarkan seluruh komponen bangsa ini dengan pendekatan tersebut, karena tidak semua masyarakat dapat menerima spirit sufistik yang ditawarkan. Sulit membayangkan manusia yang secara natural merupakan makhluk yang sulit diatur, secara keseluruhan menerima gagasan ini tanpa koersifitas negara. Koersifitas negara diperlukan karena tidak semua orang mau secara sadar diajak untuk berbuat baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan hukum. Doktrin ini berlaku pada semua format negara, apakah ia negara sekular maupun negara agama.

Berbanding terbalik dengan pendekatan kultural diatas, kaum struktural berasumsi bahwa perbaikan dapat segera dilakukan melalui institusionalisasi hukum Islam tanpa memandang urgensi kesadaran masyarakat tentang hakikat Islam itu sendiri. Nalar ini mengasumsikan bahwa kesadaran umat dapat dicapai setelah formalisasi syariat ini diterapkan. Bahwa keadilan, kesetaraan, persamaan hak, kesejahteraan, dapat dicapai secara utuh melalui formalisasi syariat. Karena definisi dari keadilan, persamaan, kesejahteraan, dan sebagainya yang menjadi maqâshid dari Islam sepenuhnya mengacu pada definisi dari literatur Islam.

Kritik bagi pendekatan ini adalah, bahwa ada terlalu banyak hal yang perlu dibenahi sebelum formalisasi ini diterapkan di level negara. Pengetahuan tentang syariat itu sendiri dan kondisi ekonomi ummat, adalah hal yang perlu dibenahi terlebih dahulu. Sehingga berbicara tentang syariat Islam tidak terjebak pada formalisasi yang dalam stereotype masyarakat masih dipandang rigid. Usaha mengakrabkan masyarakat dengan syariah dapat dimulai dari munculnya bank syariah sebagai implementasi dari semangat ekonomi Islam, islamisasi politik, islamisasi pendidikan, hingga islamisasi ilmu pengetahuan, sehingga blueprint dari nilai positif syariat telah tergambar dalam benak masyarakat sebelum konsep ini diformalisasikan. Dari sini, Islamisasi tidak diartikan, seperti yang selama ini dimaknai secara pejoratif sebagai “arabisasi” tempat-tempat umum, penggunaan simbol-simbol Arab, dsb., tetapi lebih pada kesadaran mengaplikasikan Islam dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Hal ini untuk menghindari bumerang yang dikhawatirkan terjadi ketika syariat diterapkan pada saat yang belum tepat. Apabila keadilan dan kesejahteraan telah mewujud dalam masyarakat, sehingga tindak kriminalitas dapat ditekan, maka sebetulnya eksekusi potong tangan pun—yang selama ini ditakuti—dapat dihindari.

Dari contoh ini, konsep Islam integral merupakan integrasi sekaligus dekonfessionalisasi dari nalar kultural dan struktural. Hal ini menjadi kebutuhan disebabkan karena, mengutip Anis Matta, perbaikan yang diawali dari perpektif yang parsial, hanya akan melahirkan produk kebaikan yang parsial pula. Bahkan tidak menutup kemungkinan, produk parsial tadi akan “dikalahkan” oleh keburukan dari dimensi lain yang belum tersentuh perbaikan.


3. Integralisme antara idealisme dan realita
Karakteristik ini diperlukan agar artikulasi politik Islam dapat teraplikasikan secara konkrit alih-alih terjebak dalam romantika idealisme atau cita-cita Islam yang tidak realistis dalam konteks “kekinian” dan “kedisinian.” Sebaliknya, karakteristik ini juga berperan penting agar artikulasi politik Islam tidak terjebak dalam pragmatisme dengan mengabaikan idealisme-idealisme Islam yang merupakan landasan fundamental yang divine sebagai penjaga perilaku moral politik yang efektif.


4. Integrasi antara dimensi yang sakral dan yang profan

Karakteristik terakhir ini, bukan didefinisikan dengan menyakralkan sesuatu yang profan atau melakukan profanasi terhadap sesuatu yang sakral. Karakterisktik ini lebih bermakna sebagai “worldview” atau sebuah pandangan yang misalnya, mengutip Yudi Latif, dalam komunitas-komunitas Muslim dari madzhab dan tradisi apapun menyetujui bahwa tauhid merupakan inti keyakinan, tradisi dan amalan Islam, konsepsi tauhid ini kemudian membawa pada satu keyakinan, bahwa Tuhan serba hadir dalam setiap aspek dan praktek kehidupan Muslim, sehingga dimensi-dimensi yang profan seperti politik, ekonomi, budaya, militer, dan semacamnya tetap berjalan dalam kesadaran akan “kehadiran” Tuhan ini.

Demikianlah empat karaktersitik khas yang dimiliki oleh konsep integralisme Islam.




Riwayat Hidup dan Pendidikan
Hidayat Nur Wahid dilahirkan pada 8 April 1960 M, bertepatan dengan 9 Syawwâl 1379 Hijriyah. Ia lahir di Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebon Dalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Hidayat Nur Wahid berasal dari keluarga pemuka agama. Kakeknya dari pihak ibu adalah tokoh Muhammadiyah di Prambanan, sementara ayahnya H.Muhammad Syukri, meskipun berlatar Nahdhatul Ulama, juga merupakan pengurus Muhammadiyah. Ny.Siti Rahayu, ibunda Hidayat, adalah aktivis Aisyiyah, organisasi kewanitaan Muhammadiyah.

Hidayat Nur Wahid adalah sulung dari tujuh bersaudara. Nama Hidayat Nur Wahid sendiri adalah pemberian ayahnya yang mengharapkan agar anak sulung ini kelak menjadi petunjuk dan cahaya nomor satu. Ibundanya bersyukur karena menilai Hidayat Nur Wahid bisa menjadi petunjuk dan cahaya bagi adik-adiknya. Lebih dari itu, Hidayat Nur Wahid bahkan kini menjadi pelopor hidup sederhana di kalangan pejabat di Indonesia.

Keluarga Hidayat Nur Wahid adalah keluarga guru. Ayahnya adalah Sarjana Muda alumni Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Yogyakarta, yang mengawali karir mengajar dengan menjadi guru di SD, SMP, hingga akhirnya menjadi Kepala Sekolah di STM Prambanan. Sedangkan ibunya sendiri berhenti mengajar sebagai guru TK ketika anak keduanya lahir.

Usai lulus Sekolah Dasar, Hidayat Nur Wahid melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Sebagaimana diketahui Pesantren Gontor menerapkan semboyan “berpikir bebas selain berbudi tinggi, berbadan sehat, dan berpengetahuan luas.” Semboyan ini tampak pada kehidupan Hidayat Nur Wahid hingga beranjak dewasa sampai kini yang menyukai buku, olahraga, dan mengutamakan etika moral dalam berpolitik dan juga dalam kehidupan sehari-hari.
Sebelum masuk Pondok Modern Gontor, Hidayat Nur Wahid juga sempat mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Ngabar, Ponorogo. Sebuah pesantren yang didirikan oleh salah seorang alumni Gontor. Menurut Hidayat, apa yang tidak ia dapatkan di Gontor, justru ia dapatkan di Ngabar.

Di Pondok Modern Gontor, Hidayat Nur Wahid termasuk siswa yang cerdas dan menonjol. Ia duduk di kelas B yang hanya diisi oleh santri-santri berprestasi. Di kelas ini pun ia selalu mendapatkan rangking pertama atau kedua. Menurut Ahmad Satori Ismail, kakak kelas yang kemudian menjadi rekannya di Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) al-Haramain, Hidayat Nur Wahid adalah satu-satunya dari 132 santri pada 1978 yang mendapatkan ijazah tanpa prosedur tes.

Kecerdasan Hidayat Nur Wahid memang telah tampak ketika masih kanak-kanak. Di SD Kebon Dalem Kidul, ia selalu mendapat predikat juara. Sebagai anak guru, Hidayat mendapatkan pendidikan yang baik. ia sudah bisa membaca sebelum masuk sekolah. Hidayat kecil juga gemar membaca. Selain komik Ko Ping Ho kegemarannya, ia juga membaca buku-buku sastra dan sejarah milik ayahnya dan keluarga. Kebiasaan dari kecil itu masih berlanjut sampai sekarang. Kini di ruang perpustakaannya, ada lebih dari lima lemari besar penuh buku, baik yang berbahasa Arab, Inggris, maupun Indonesia.

Selama menempuh pendidikan di Gontor, Hidayat Nur Wahid mengikuti banyak kegiatan. Selain kursus bahasa Arab dan Inggris, Hidayat juga mengikuti kajian sastra, hingga kursus menjahit. Hidayat Nur Wahid juga diangkat menjadi Staf Andalan Koordinator Pramuka Bidang Kesekretariatan ketika duduk di kelas V Pondok Gontor. Hidayat Nur Wahid tercatat pula sebagai anggota Pelajar Islam Indonesia (PII)

Selepas dari Gontor tahun 1978, Hidayat Nur Wahid sebetulnya berkeinginan untuk kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, rupanya ia terkesan pada jasa seorang mantri di PKU Muhammadiyah yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Namun akhirnya ia mendaftar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga. Di kampus ini Hidayat Nur Wahid sempat mengikuti Training Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Setahun kemudian, berkat kecerdasannya ia diterima studi di Universitas Islam Madinah dengan program beasiswa. Karena idealismenya, sewaktu menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Madinah, Hidayat Nur Wahid pernah berurusan dengan KBRI karena mempersoalkan Asas Tunggal dan Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Hidayat Nur Wahid menyelesaikan program S-1 dengan predikat cumlaude pada tahun 1983 dengan judul skripsi Mauqîf al-Yahûd min Islâm al-Ansâr. Selesai S-1, awalnya ia tidak berpikir untuk melanjutkan S-2, hingga ia mendapatkan kabar bahwa namanya tercantum dalam nominasi untuk mengikuti ujian S-2. Pada hari terakhir ujian itulah Hidayat mengikuti tes dan akhirnya lulus. Hidayat menamatkan program S-2 pada tahun 1987, dengan tesis berjudul al-Bâtiniyyûn fî Indonesia, Ard wa Dirâsah.

Selepas S-2 sebetulnya Hidayat Nur Wahid sudah ingin kembali ke tanah air, namun kemudian ia melanjutkan pendidikan hingga jenjang S-3 atas desakan salah seorang dosennya. Pada 1992, Hidayat Nur Wahid menamatkan studi S-3 dengan judul disertasi Nawâyid li al-Rawâfid li al-Barzanjî, Tahqîq wa Dirâsah.

Melihat seluruh riwayat pendidikan akademisnya, kecuali SDN Kebon Dalem Kidul, tampak Hidayat Nur Wahid tercermin sebagai seorang ahli dalam agama Islam.
Setelah ditinggal oleh istrinya, Kastrian Indriawati yang wafat pada 22 Januari 1998, Hidayat Nur Wahid menikah lagi melalui proses ta’âruf, dengan Diana Abbas Thalib, seorang dokter dan Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Aliyah, Pondok Indah, Jakarta.

Aktivitas Sosial dan Politik
Sebagai bagian dari Gerakan Tarbiyah, Hidayat memandang Islam sebagai sebuah konsep yang integral, komprehenshif, fundamental, dan penuh toleransi. Paradigma keislamannya ini kemudian diaktualisasikan melalui keaktifannya dalam kegiatan-kegiatan sosial dan politik.

Gerakan Tarbiyah, adalah gerakan dakwah Islam yang mulai marak di Indonesia pada era 1980. Gerakan ini banyak mengambil referensi keislaman dari gerakan Islam di Timur tengah, terutama al-Ikhwân al-Muslimûn. Menurut sejumlah studi, Tarbiyah mengawali gerakannya di kampus-kampus, seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gajah Mada.

Aktivis gerakan ini secara khusyu’ mengikuti mentoring rutin keislaman, mengkaji buku-buku karya Sayyid Qutb, Hassân al-Banna, dan tokoh-tokoh gerakan Islam lain, di bawah cover Lembaga Dakwah kampus (LDK). Konsentrasi mereka begitu besar pada Islam, seakan-akan tidak peduli dengan kondisi politik tanah air. Gerakan ini mendapat kemajuan setelah pulangnya para pelajar dari Timur Tengah mulai tahun 1988, seperti Abdul Hasib Hassan, Salim Segaff al-Jufri, Yusuf Supendi, Hidayat Nur Wahid, dan Musyyaffa Abdul Rahim.

Gerakan Tarbiyah inilah yang pada 1998 melahirkan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan mendirikan partai politik Islam bernama Partai Keadilan (PK).

Selepas pulang ke tanah air setelah merampungkan program master dan doktornya, Hidayat Nur Wahid melibatkan diri dalam Yayasan Alumni Timur Tengah dan mendirikan yayasan-yayasan alumni Timur Tengah. Ia juga mendirikan Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) Yayasan al-Haramain sebagai bentuk baktinya terhadap pesantren. Yayasan al-Haramain ini pernah menerbitkan Jurnal Ma’rifat dimana ia menjabat sebagai dewan redaksinya. Jurnal Ma’rifat ini diterbitkan sebagai counter terhadap Jurnal ‘Ulumul Qur’an yang berisikan tema-tema pembaharuan Islam Nurchalish Madjid atau Cak Nur. Sungguh pun demikian, sebagai seorang Muslim dan akademisi, Hidayat Nur Wahid tetap menaruh rasa hormat kepada Cak Nur.

Dalam pandangannya yang objektif, Hidayat Nur Wahid memandang Cak Nur sebagai sosok yang ingin menghadirkan Islam dan Umat Islam yang bisa diterima secara elegan oleh semua masyarakat dunia, dimana Islam ditempatkan pada tempat yang tinggi, menginternasional, dan universal. Islam menjadi sesuatu yang membawa pada pencerahan, bukan Islam yang disalahpahami, anti budaya, dan sejenisnya. Meskipun pada beberapa hal, Hidayat mengakui bahwa merupakan hal yang wajar jika ia tidak selamanya sependapat dengan Cak Nur.

Hidayat Nur Wahid juga pernah menjabat sebagai Ketua Forum Da’wah Indonesia, peneliti di Lembaga Kajian Fiqh dan Kajian Hukum (LKFKH) al-Khairat, dan juga sebagai salah satu pengurus Badan Wakaf Pondok Modern Gontor.

Dalam bidang akademis, sebagai bentuk pengabdiannya kepada ilmu pengetahuan, Hidayat Nur Wahid juga melibatkan diri mengajar di sejumlah Perguruan Tinggi. Ia menjadi dosen pada Program Pasca Sarjana Magister Studi Islam, dan Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Hidayat Nur Wahid juga menjabat sebagai dosen pasca sarjana di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan dosen pasca sarjana di Universitas Asy-Syafi’iyah, Jakarta.
Karena perhatiannya terhadap problem sosial dan kemanusiaan, kemampuannya mengonsolidasi massa, dan integritas pribadinya yang dipandang baik, Hidayat Nur Wahid dipercaya oleh gabungan beberapa organisasi massa dan politik, untuk memimpin demonstrasi terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Komite Indonesia untuk Solidaritas Rakyat Irak (KISRA) pada 30 Maret 2003 dalam rangka menentang agresi Amerika Serikat ke Irak.

Sebelumnya Pada tahun 2000, atas permintaan dari Nurchalish Madjid, Imam B. Prasodjo, dan Emmy Hafidl, Hidayat Nur Wahid pernah pula menjabat sebagai ketua koordinator tim agama di Forum Indonesia Damai (FID), sebuah organisasi yang dibentuk oleh para aktivis, akademisi, dan tokoh lintas agama seperti Nurchalish Madjid, Syafi’i Ma’arif, Frans Magnes Suseno, Bara Hasibuan, Asmara Nababan, Sa’id Agiel Siradj, dan Mar’ie Muhamad.

Dalam wawancara dengan Majalah Saksi, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan Hidayat Nur Wahid dalam forum ini disebabkan oleh keprihatinannya terhadap teror bom yang marak terjadi pada waktu itu. Teror bom terjadi di gereja-gereja, di Masjid Istiqlal, di gedung Kejaksaan Agung, juga di gedung Kedutaan Malaysia dan Filipina. Hidayat Nur Wahid merasa khawatir budaya kekerasan dan pembunuhan tersebut dapat mengadu domba kerukunan bangsa Indonesia. Lebih jauh ia khawatir memang ada skenario pihak-pihak tertentu yang ingin mengail di air keruh agar terjadi konflik horizontal tersebut.

Sebagai seorang pemuka agama, keikutsertaannya dalam Forum Indonesia Damai juga didasari oleh perspektif religiusnya, seperti yang tercantum dalam sûrah al-Mâ’idah/5:2 yakni “wa ta‘âwanû ‘alâ al-birri wa al-taqwâ, wa lâ ta‘âwanû ‘alâ al-itsmi wa al‘-udwân” (“dan tolong-menolongah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran”). Dari sudut pandang ini, Hidayat Nur Wahid mengatakan bahwa kita diperintahkan untuk merealisasikan al-birr dalam definisinya sebagai segala bentuk kebajikan, dengan siapapun, dan kita tidak boleh bekerjasama dengan siapapun dalam konteks dosa.

Dalam konteks politik, nama Hidayat Nur Wahid sebetulnya mulai dikenal ketika ia menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan (PK) pada 21 Mei 2000, menggantikan Nur Mahmudi Ismail yang melepas jabatannya karena harus berkonsentrasi sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Tradisi melepas jabatan partai ini kemudian hari diikuti oleh Hidayat Nur Wahid yang melepas jabatannya sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera setelah terpilih sebagai Ketua MPR pada tahun 2004.

Sebelum menjabat sebagai Presiden PK, Hidayat hanya dikenal di lingkungan internal Gerakan Tarbiyah. Di kalangan Partai Keadilan sendiri, Hidayat Nur Wahid dikenal sebagai dewan pendiri. Ketika Partai Keadilan dideklarasikan pada 20 Mei 1998, sebetulnya ia sudah diminta untuk menduduki kursi presiden partai, namun ia menolak dengan alasan konteks waktu yang belum tepat.

Hidayat menyadari bahwa ia memimpin sebuah partai yang sangat segmented. Menurut Bachtiar Effendi, Partai Keadilan adalah partai yang luxury dengan segmen pemilih yang terkonsentrasi dari kalangan terpelajar muslim perkotaan. Segmentasi ini menurut Azyumardi Azra membuat Partai Keadilan dipandang cenderung eksklusif. Padahal tuntutan rasional sebagai peserta Pemilu mengharuskan setiap partai politik untuk merebut sebanyak mungkin simpati publik. Untuk memudahkan partai dalam memperjuangkan visi dan misi politiknya, partai politik harus semaksimal mungkin menjaring hati pemilih, dan itu sulit dilakukan apabila partai tersebut tersekat dalam segmentasi pemilih tertentu. Dalam hal ini menarik apa yang diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta,


“Kalau basis organisasi bersifat elitis-eksklusif, maka basis sosial bersifat massif dan terbuka. Kalau basis organisasi berorientasi pada kualitas, maka basis sosial berorientasi kuantitas. Kalau organisasi meretas jalan, maka masyarakatlah yang akan melaluinya. Kalau para pemimpin melihat ke depan dengan pikiran-pikirannya yang jauh, maka massa menjangkau ke depan dengan tangan-tangannya yang banyak. Kalau pemimpin yang hebat mendapatkan dukungan publik yang luas, maka akan terbentuklah sebuah kekuatan dakwah yang dahsyat…begitulah menciptakan sinergi antara kualitas dengan kuantitas, keduanya mempunyai peran yang sama srategisnya.”



Keharusan melebarkan “sayap” pada segmentasi yang lebih luas ini pun disadari oleh Hidayat Nur Wahid. Dalam sambutannya setelah terpilih sebagai Presiden Partai Keadilan, Hidayat menyatakan bahwa jabatan itu sejatinya merupakan amanah yang tidak ringan. Hidayat Nur Wahid kemudian merinci tantangan-tantangan yang akan dihadapi partainya tersebut,

Pertama, masalah pencitraan partai yang sebagaimana diulas diatas, masih terbatas pada segmen tertentu. Menurut Hidayat, Meskipun citra ini positif karena memperjelas segmentasi pendukung, namun dalam konteks dakwah hal ini menjadi tidak tepat karena dasar dakwah adalah seruan pada seluruh segmen masyarakat apapun kondisinya. Menurut Hidayat, pencitraan tadi akan menghambat pelebaran dakwah karena nilai-nilai dakwah Partai Keadilan akan terkungkung pada segmen-segmen yang terbatas.


Kedua,
faktor konsolidasi internal. Konsolidasi internal harus terus mengalami penguatan meskipun dalam tubuh PK sudah cukup solid.


Ketiga,
adalah faktor komunikasi dan sosialisasi massa. Hidayat Nur Wahid berpandangan bahwa untuk meyakinkan masyarakat bahwa Partai Keadilan tidak mengalami stagnasi setelah ditinggal oleh Nur Mahmudi, maka jalinan komunikasi dengan media massa dan kalangan yang memiliki akses massa harus lebih mengalami peningkatan. Hidayat Nur Wahid paham bahwa peran media massa sangat besar dalam pembentukan opini yang menentukan aspirasi politik publik.


Keempat,
Partai Keadilan harus dapat memenuhi pandangan masyarakat yang menuntut bahwa Partai Keadilan haruslah menjadi partai besar. Sehingga pengkaderan harus dilakukan secara massif dan terus menerus dengan target dominannya nilai-nilai dakwah di masyarakat.

Kelima, adalah masalah finansial, bagaimanapun Hidayat memahami bahwa kegiatan partai adalah kegiatan yang bersifat massal dan harus terprogram secara professional, sehingga diperlukan adanya terobosan agar kebutuhan finansial partai dapat terpenuhi secara mandiri.
Pada tahun 2003, Hidayat Nur Wahid kemudian memimpin Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebetulnya merupakan metamorfosa dari Partai Keadilan.

Di bawah kepemimpinannya, meskipun ini bukan merupakan satu-satunya faktor, Partai Keadilan Sejahtera berhasil melipatgandakan suaranya pada Pemilu 2004 sebesar 600%. Partai Keadilan yang pada Pemilu 1999 hanya memperoleh 1,4% suara nasional, meraih 7,34% pada pemilu 2004. Untuk partai yang baru dideklarasikan pada tahun 2003, perolehan tersebut merupakan sebuah prestasi yang menurut Saiful Mujani, amat mengesankan. PKS bahkan mampu mengalahkan Partai Amanat Nasional, partai yang lebih awal berdiri, dan dipimpin pula oleh tokoh nasional sekelas Amien Rais.

Lompatan suara PKS itulah yang akhirnya mengantarkan Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah mengalahkan Sucipto dengan selisih hanya dua suara dalam pemilihan yang berlangsung secara demokratis dalam Sidang Paripurna V MPR tanggal 6 Oktober 2004. Setelah memimpin MPR itulah nama Hidayat Nur Wahid dikenal luas sebagai tokoh yang sederhana dan sebagai ikon anti KKN.

Menurut Azyumardi Azra fenomena kemunculan Hidayat Nur Wahid dan semua kiprah PKS diatas merupakan proses dari apa yang ia sebut sebagai mainstreaming of Islamic politics, pengarusutamaan politik Islam, sebagaimana dipahami dan ditampilkan PKS.
Dalam pengarusutamaan ini Hidayat Nur Wahid semakin ke tengah. Ia tidak lagi terpingir dan terpencil dari hiruk pikuk politik yang berlangsung. Sebaliknya, ia menjadi aktor dan pelaku yang cukup menentukan.

Hidayat Nur Wahid memang tidak menghasilkan banyak karya tulis, namun aktivitas sosial dan terutama politiknya yang mencerminkan ketinggian moral, telah menuai banyak simpati dan pujian.




Hidayat Nur Wahid adalah “produk” reformasi. Sebagai politisi, ia mulai dikenal ketika memimpin Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di bawah kepemimpinannnya, meskipun ini bukan merupakan satu-satunya faktor, PKS berhasil melipatgandakan perolehan suara PKS hingga 600% pada Pemilihan Umum 2004. Perolehan suara ini menjadi menarik, karena pada saat yang bersamaan, perolehan suara partai-partai Islam, baik yang berasas Islam maupun yang berbasis massa Islam, seluruhnya mengalami penurunan.
Dibawah kepemimpinan Hidayat Nur Wahid, PKS tumbuh menjadi partai yang diperhitungkan dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Perolehan suara yang mencapai 7,34% dari suara sah nasional itu telah membawa PKS sebagai partai “papan tengah” yang memiliki bargaining position yang cukup kuat. Hal itu dibuktikan dengan keberhasilan partai ini membawa Hidayat Nur Wahid sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) pada tahun 2004 mengalahkan calon dari partai lain.

Mencermati arah serta perilaku politik Hidayat Nur Wahid memiliki daya tarik tersendiri. Selain keberhasilannya dalam memimpin PKS, perilaku politik Hidayat Nur Wahid cukup menyita perhatian publik dan media massa. Selang lima hari setelah terpilih sebagai Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid telah melakukan aksi politik yang tidak biasa dilakukan oleh para politisi, yakni menolak fasilitas mobil dinas mewah bermerk Volvo dengan alasan bahwa Volvo adalah simbol kemewahan, jika dirinya tetap menggunakan Volvo, walaupun bukan mobil baru, sama artinya bahwa ia tidak memiliki sence of crisis, mengingat 210 juta rakyat Indonesia saat ini tengah termiskinkan oleh kebijakan-kebijakan pemimpin masa lalu.


Tidak sampai disitu, Hidayat Nurwahid menolak tinggal di hotel kelas Presidential Suite Room di Hotel Mulia saat Sidang Istimewa MPR, serta fasilitas mewah lain dan saat ke luar kota. Hidayat Nur Wahid juga merupakan contoh dari pemimpin politik yang dapat membedakan posisi dirinya antara pejabat Pemerintahan dengan tugas kepartaian, hal ini dibuktikan dengan penolakannya terhadap fasilitas kamar tidur berkelas Princess Suite Room di Hotel Bumi Minang ketika berkunjung ke Kota Padang dalam acara halâl bi halâl Keluarga Partai Keadilan Sejahtera se-Sumatera Barat pada 26 Desember 2004. Hidayat Nur Wahid meminta agar hadiah dari Wali Kota Padang itu ditukar dengan kelas standar.



Langkah politik lain yang dilakukan Hidayat Nur Wahid adalah pelepasan jabatannya sebagai Presiden PKS. Satu aksi politik yang tidak pernah dilakukan oleh tokoh politik nasional manapun. Demikian pula pada tahun 2004 Hidayat Nur Wahid selaku Ketua MPR mengembalikan sisa anggaran MPR RI masa kepemimpinan awalnya yang merupakan hasil efisiensi yang dilakukan bersama anggota, para pejabat serta staf MPR RI lainnya. Suatu hal yang tidak pernah dilakukan oleh para pemimpin MPR terdahulu. Ketika Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) terkena bencana gempa bumi dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004, tidak seperti pejabat negara lainnya, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid terlibat langsung melakukan pertolongan pertama. Mulai dari evakuasi mayat, memimpin shalat jenazah dan pemakamannya, kemudian membersihkan lokasi bencana, menyalurkan bantuan, serta membangun posko-posko darurat. Menurut Hidayat Nur Wahid, “Sebagai pimpinan MPR, maupun sebagai pribadi dan kader PKS, saya ingin merasakan, menunjukkan simpati dan empati kepada rakyat Aceh. Bahwa kami bersama mereka. Empati dari saudara sebangsa sangat kuat, jangan lagi berpikir separatis untuk berpisah dari pangkuan NKRI.”


Langkah-langkah politik yang dilakukan Hidayat Nur Wahid membuat banyak kalangan menaruh simpati, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution memisalkan Hidayat Nur Wahid seperti Recep Tayib Erdogan, Perdana Menteri Turki, konsisten dan lugas. Meski besar dari kalangan Islam konservatif, namun Hidayat Nur Wahid dapat diterima oleh semua kalangan. Anwar Nasution mengaku terkesan dengan gerakan moral Hidayat Nur Wahid memberantas korupsi, serta contoh gaya hidup sederhana yang dijalaninya.

Pengamat hukum dan perbankan Pradjoto memiliki kesan bahwa Hidayat Nur Wahid adalah pejuang yang kesepian, karena hampir tidak ada tokoh yang sebersih, sesederhana, dan seberani dia dalam hal meneriakkan dan mempraktekkan langsung slogan anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Mantan Ketua Persekutuan Gereja Indonesia Nathan Setiabudi mengatakan bahwa Hidayat Nur Wahid merupakan tokoh yang sederhana dan konsisten, meski (PKS) mendapat suara signifkan, namun (Hidayat Nur Wahid) tidak mau dicalonkan sebagai presiden. Hidayat Nur Wahid telah menunjukkan sikap kenegarawanannya, menolak fasilitas mewah dengan tulus, sikap yang tidak dimiliki oleh partai lain. Pengamat politik JJ. Kristiadi bahkan menyetarakan Hidayat Nur Wahid dengan Ki Hajar Dewantara dan Muhammad Natsir.


Mengamati langkah-langkah politik Hidayat Nur Wahid di atas, menjadi menarik untuk kemudian mengkaji secara lebih mendalam pandangan-pandangan politik seperti apa yang melatarbelakangi aksi-aksi politik Hidayat Nur Wahid tersebut.


Dalam pengamatan saya, pandangan serta aksi politik yang dilakukan oleh Hidayat Nur Wahid memiliki keunikan tersendiri. Hal ini disebabkan karena Hidayat Nur Wahid tampak keluar dari mainstream artikulasi politik Islam yang biasanya dibagi ke dalam dua kelompok: Islam kultural, atau Islam struktural. Dalam kancah politik, Hidayat Nur Wahid tampak mengintegrasikan kedua peran ini sekaligus.


Perilaku politik Hidayat Nur Wahid inilah yang kemudian menjadikan dikotomi antara Islam kultural dan struktural menjadi tidak relevan. Dalam hal ini, Hidayat Nur Wahid merupakan varian baru politik Islam Indonesia yang penulis sebut dengan istilah “Islam integral”. Paham integralisme Islam inilah yang tampaknya relevan untuk mewakili corak dari pandangan-pandangan dan aksi politik Hidayat Nur Wahid.



Di kalangan akademisi maupun praktisinya, paling tidak terdapat dua tanggapan dalam diskursus penegakkan Syariat Islam. Di satu sisi, isu ini selalu menjadi perdebatan menarik, bahkan polemik. Sementara di sisi lain, isu ini justru danggap membosankan. Disebut ”membosankan” karena wacana ini selalu berujung pada artikulasi yang tampaknya selalu—mengulang, dan—terjebak dalam tiga madzhab besar (Bachtiar Effendy, 2006), bahwa (1) Islam dan politik adalah kesatuan integral yang tidak bisa dipisahkan, madzhab ini bisa dilihat melalui pemikiran Saŷid Quţb, Abu al-A’la al-Mawdûdî, dsb.; (2) Islam dan politik bisa dan harus dipisahkan, pengusungnya antara lain `Aly `Abd al-Raziq, Ţaha Huŝein, dsb.; atau (3) Islam dan politik memiliki hubungan, tetapi bukan pada tataran legal-formal, melainkan secara substansialistik. Madzhab terakhir tampaknya diekspos dan menjadi rujukan banyak cendekiawan di Indonesia, pemikiran semacam ini dapat kita lihat dari gagasan Nurchalish Madjid, Azyumardi Azra, dsb.


”Keterjebakan (?)” ke dalam tiga aliran besar seputar relasi ideal agama-negara ini pada akhirnya hanya menjadi perbincangan layaknya debat kusir tiada bertepi, yang oleh para penolaknya dijadikan ’kesempatan’ untuk mengangkat terma ini sebagai hal yang menghabiskan energi dan kontra produktif. Namun demikian, menegasikan diskursus ini, tentu bukan sebuah langkah yang cerdas. Hal ini disebabkan karena konfrontasi ini, baik karena didorong oleh pandangan akademis, maupun sebagai implementasi dari tuntutan ideologis, selalu menemukan ruangnya dalam setiap waktu dan tampak mustahil padam.





Depolitisasi Islam

Dalam konteks politik Indonesia, pergulatan pemikiran ini telah berlangsung sejak lama, seumur dengan usia Republik ini. Perdebatan Soekarno versus Natsir tentang dasar negara adalah contoh konkrit bagaimana sedari awal, tarik menarik antara kubu Nasionalis Islam dengan Nasionalis Sekular telah menjadi pertarungan seru. Contoh yang lebih konkrit adalah seputar Piagam Jakarta yang—bahkan—masih menjadi ”beban sejarah” bagi Bangsa ini.


Nurchalish Madjid telah menyuarakan gagasan sekularisasinya sejak tahun 1970an. Islam dalam pandangannnya tidak lebih dari agama sebagaimana pengertian agama pada umumnya. Dari sini Nurchalish menyerukan agar Islam diceraikan dari politik. Dalam pandangannya, ”negara adalah aspek kehidupan yang bersifat profan yang berdimensi rasional dan kolektif, sementara agama adalah aspek lain tentang kehidupan yang berdimensi sakral dan individual.” Senada namun dalam lirik yang berbeda dengan ucapan Said al-Asymawi, bahwa agama adalah hal yang bersifat universal, sedangkan politik bersifat temporal dan partikular. (catatan: Ketika Nurchalish menyampaikan gagasan sekularisasinya pada 1970-an, ia langsung di tanggapi oleh sejumlah intelektual dari kubu modernis semisal Endang Saefudin Anshari, Prof. H.M. Rasyidi, dll. Pada tahun 1992, gagasannya tentang makna agama, ahlul kitab, dsb, dijawab dengan serangkaian reaksi yang cukup keras. Debat besar “di Mimbar TIM” yang legendaris seolah menjadi sebuah pengadilan bagi gagasan-gagasan Nurchalish. Tanggapan terhadap pemikiran Cak Nur ini lihat Daud Rasyid, “Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan.” (Jakarta: Usamah Press, 2003).


Gagasan Nurchalish Madjid ini ditanggapi oleh sejumlah intelektual Islam. Pada tahun 1970an, gagasan ini ditanggapi oleh Endang Saefuddin Anshari, Prof. Rasyidi, dsb. Pada tahun 1992, gagasan Nurchalish ditentang oleh tokoh muda Daud Rasyid dalam debat besar ’pembaruan Islam’ di Mimbar TIM yang tersohor itu.


Tema sentral dari perdebatan relasi agama-negara ini berporos pada pendefinisian Islam, apakah ia merupakan agama dalam definisi barat/religion, ataukah sebagai sebuah agama namun dengan pengertian yang berbeda? Karena faktanya kalangan yang menolak Islam Politik memaknai al-Dîn sebagai agama yang sama dengan religion dalam pangertian barat, yakni konsep yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan secara vertikal an sich. Agama adalah urusan spiritual dan ritual, sebagaimana dipahami oleh para sosiolog, antropolog, dan filosof barat yang memang menggunakan framework sekular yang notabene merupakan produk dari traumatisme dari hagemoni Kristen terhadap sistem kehidupan pada zaman kegelapan Eropa. Suatu hal yang berbanding terbalik secara diametral dengan sejarah Islam.





Konteks Indonesia

Tidak berbeda dengan realitas yang terjadi di belahan dunia Islam, di Indonesia, ketika ide penerapan syariat ini dilemparkan ke ruang publik, selalu terjadi perdebatan sengit antara pihak yang mendukung dan menentangnya. Hanya saja dalam konteks Indonesia, perdebatannya tidak melulu terjebak dalam wilayah akademis-filosofis, tetapi lebih pada sebuah kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa. Hal ini yang membedakannya dengan perdebatan wacana relasi Islam-negara yang terjadi di Indonesia dengan di Timur Tengah, mengingat berbeda dengan Timur Tengah, Indonesia merupakan negara yang jauh lebih heterogen, sehingga kekhawatiran disintegrasi bangsa menjadi lebih menonjol ketimbang perdebatan akademis untuk mencari landasan teologis tentang relasi Islam-negara.

Ada beberapa argumen yang diajukan mengapa Syariat Islam dipandang tidak relevan dengan konteks kebangsaan Indonesia kekinian. Argumen-argumen tersebut antara lain,


Pertama, isu ini, terutama akan mengancam integrasi nasional Bangsa Indonesia yang plural dan terdiri dari aneka ragam budaya, etnis dan agama, sehingga tidak diperbolehkan ada sebagian pihak yang memaksakan pahamnya ke dalam ruang publik. Hal ini disebabkan karena sebagaimana dipahami, negara adalah pertemuan dari aneka perbedaan unsur-unsur komunal yang menyusunnya. Keanekaragaman ini telah mengalami dialektikanya sehingga dicapai kesepakatan-kesepakatan kolektif yang dipandang telah mengakomodasi semua kepentingan dari elemen-elemen tersebut. Tentu, harus ada paham-paham subjektif-primordial yang diperkecil perannya agar dapat berjalan sinergis dengan aspirasi dari paham subjektif yang lain. Dialektika ini meniscayakan adanya dekonfessionalisasi dari ekslusifisme semua pihak, karena dikhawatirkan akan berbenturan dengan paham ekslusif dari pihak lain. Meminjam istilah George Wilhem Friedrich Hegel (1770-1831), Negara adalah The Great Spirit atau The Absolute Idea.

Dari perspektif ini mudah untuk dipahami bahwa, sebagai sebuah “kesepakatan sosial” yang telah mengalami dialektika, maka tidak diperkenankan adanya hagemoni sebuah paham komunal-primordial diatas paham komunal-primordial yang lain dalam ruang publik. Derivasi dari argumen ini melahirkan argumen lain seperti kekhawatiran munculnya diskriminasi terhadap ”warga negara kelas dua” untuk non Muslim, kemudian isu sektarianisme, dsb. Yang seluruhnya bertemu pada kekhawatiran disintegrasi bangsa yang tidak diharapkan.



Kedua,
isu penegakkan syariat Islam ini dianggap sebagai rencana yang problematik dan tidak matang. Disebut problematik karena, dalam paham keberagamaan Islam terdapat perbedaan pemahaman terhadap jurisprudensi hukum Islam yang terkristalisasi dalam madzhab. Ketika Syariat Islam ini akan diterapkan, maka akan muncul masalah selanjutnya, hukum Islam versi mana yang akan diterapkan? sementara masing-masing golongan dalam Islam mengklaim dirinya sebagai ”yang paling Islam.” Realitas ini akan lebih mengkristal terlebih di dalam tubuh umat Islam sendiri, aspirasi untuk menegakkan Syariat ini tidak sepenuhnya didukung.


Standar Ganda


Menjawab argumen kedua terlebih dahulu, Sebuah kritik terhadap mereka yang menolak penerapan Syariat Islam ini, yaitu penggunaan standar ganda yang dilakukan untuk menilai Syariat Islam. Di satu sisi, kalangan ini menolak formalisasi syariat dengan alasan ketidakjelasan Syariat Islam versi mana yang akan diterapkan? Sementara di sisi lain mereka dengan gigih menyerukan demokrasi yang dianggap sebagai satu-satunya sistem yang dapat memanusiakan manusia (humanization of man). Padahal faktanya, demokarsi pun mengalami kekaburan definisi. Demokrasi sebagai ’teks’ pada akhirnya ditafsirkan secara subjektif oleh para pemimpin negara di pojok-pojok bumi, entah untuk mencari legitimasi publik, entah untuk kepentingan ekonomi. Bahkan Ian Adams mencatat, setelah Perang Dunia Kedua para sarjana yang ditugaskan oleh UNESCO untuk mencari definisi demokrasi agar dapat disepakati oleh semua pihak, dalam laporannya, Democracy in a World of Tensons, mereka terpaksa harus mengakui telah bertemu dengan kegagalan. Ada begitu banyak definisi tentang demokrasi yang saling bertentangan dan mustahil untuk disepakati. (Ian Adams, 2004) Ketidakjelasan tentang demokrasi ini akhirnya membawa banyak negara dengan serta merta mengklaim sebagai negara demokrasi dengan segala macam alirannya; Demokrasi Sosialis, Demokrasi Liberal, Demokrasi Islam, dsb.


Jika kalangan yang menolak Syariat Islam ini dengan sukarela menerima demokrasi meskipun dengan kekaburan definisi, demokrasi menurut siapa? mengapa untuk formalisasi Syariat mereka tidak menerima justru dengan alasan yang sama? Tampaknya terdapat standar ganda dalam memandang ini.



Lagi-lagi Piagam Jakarta


Akan menjadi hal yang membosankan mengangkat kembali argumen historis untuk membenarkan penerapan Syariat Islam di Indonesia, dan tulisan ini tidak dimaksudkan untuk itu. Dinamika perjuangan penegakkan Syariat Islam di Indonesia memang mengalami ironisme sejarah tersendiri. Penulis ingin mengingatkan lagi wacana lama tentang Piagam Jakarta yang sebagaimana disebutkan di awal tulisan, masih menjadi ”beban sejarah” bagi bangsa ini. Hal ini dianggap perlu karena ada terlalu banyak hal yang terlewatkan ketika tema Piagam Jakarta ini diangkat.


Pertama,
sebagaimana diketahui bahwa rumusan Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi selama berbulan-bulan oleh para founding father Republik ini. Alotnya pembahasan tentang rumusan Piagam Jakarta menjadikan perundingan ini benar-benar tampak seperti ”perebutan pengaruh” untuk bangsa ini kedepan. Sampai-sampai Soekarno yang menjadi ketua Tim Sembilan, mengatakan kepada para negosiator, ”saya mohon dengan rasa menangis, rasa menangis, kepada tuan-tuan, sudilah kiranya tuan-tuan menjalankan pengorbanan ini kepada tanah air dan bangsa kita. Pengorbanan untuk keinginan kita, agar kita dapat lekas menyelesaikan, agar Indonesia merdeka dan lekas damai” . (catatan: Piagam Jakarta merupakan rumusan kompromi dari Panitia Sembilan yang mencerminkan kubu Islam, Nasionalis, dan Kristen. Mereka adalah, Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Moezakkir, H. Agoes Salim, Mr. Achmad Soebardjo, KH. Wachid Hasjim, (ayah Gus Dur dan putra pendiri NU Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari,) dan Mr. Muhammad Yamin. Lihat Alwi Shahab, “Piagam Jakarta: Kisah Tujuh Kata Sakral” dalam Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA.ed., Syariat Islam Yes, Syariat Islam No.” (Jakarta: Paramadina,2001. h. 5.), Rumusan ini merupakan hasil jerih payah dari kompromi yang berjalan dengan sangat alot. Hasil kompromi ini sangat dihormati oleh para ahli hukum karena mencerminkan adanya upaya dekonfsesionalisasi, setelah sebelumnya kubu Islam bersikeras menghendaki Indonesia sebagai Islamic State/Negara Islam. Yang menyebabkan mereka mengendurkan tuntutannya adalah adanya kalimat, ”dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Prof. Soepomo menyebutnya sebagai “Perjanjian Luhur,” sedang Dr. Sukiman menyebutnya “Gentlemen Agreement,” Mr. Muhammad Yamin menamakannya dengan “Jakarta Charter,” Prof. Notonagoro menjulukinya “Suatu Perjanjian Moril yang amat Luhur.” Lihat Firdaus AN, Dosa-dosa yang Tidak Boleh Terulang (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 64-65.)




Yang perlu kita pertebal dan garisbawahi adalah, bahwa rumusan yang telah disepakati—sekali lagi, dengan jerih payah sebagai hasil perundingan yang sangat alot—ini dicoret hanya dalam waktu beberapa menit. Peristiwa ini menggambarkan kenyataan tidak dihormatinya kerja keras para founding father republik ini


Kedua, yang menjadikan peristiwa ini ironis adalah, bahwa pencoretan ini hanya didorong oleh kekhawatiran akan ancaman seorang dari Indonesia Timur yang –bahkan—tidak diketahui siapa namanya . (catatan: Sampai tahun 1984 Tidak terdapat satu buku pun yang menjelaskan siapa gerangan yang memberi ultimatum supaya tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu dicoret, dalam buku Bung Hatta sendiri pun tidak ada. Sampai tahun 1984 tokoh itu masih misterius bagi sejarawan maupun politisi. Barulah setelah Cornell University menerbitkan sebuah buku tentang Indonesia diketahui bahwa tokoh tersebut bernama Dr. Sam Ratulangi yang pada halaman 7 disebut sebagai an astute Cristhian politician from Manado, North Sulawesi. Lihat Firdaus AN, Dosa-dosa yang Tidak Boleh Terulang, h. 67.)


Ketiga, lebih ironis lagi, seseorang yang tidak diketahui siapa namanya ini mengklaim sebagai ”wakil dari Indonesia Timur.” Lengkap dengan ancaman bahwa ”Indonesia Timur” akan memisahkan diri dari NKRI jika tujuh kata, dengan kewajban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, tetap dicantumkan dalam Piagam Jakarta. Padahal perlu dicatat di sini bahwa belum pernah dilaksanakan referendum di Indonesia Timur untuk memberikan otoritas pada ’Mr. X’ bahwa mereka akan bercerai dari NKRI seandainya tujuh kata tersebut masih dicantumkan. Dalam perkembangan selanjutnya, Isu disintegrasi inilah yang selalu diungkap saat keinginan untuk menerapkan Syariat ini muncul ke permukaan.


Keempat,
menambah panjang ironisme ini adalah, fakta bahwa disintegrasi bangsa justru terjadi disebabkan oleh pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut. Disebut ironis sebab pencoretan yang diharapkan dapat meredam disintegrasi ini justru menghasilkan disintegrasi yang lebih nyata (bukan sekedar ancaman). Hal ini dibuktikan dengan terjadinya pemberontakan di berbagai daerah. Sungguh tidak dapat disangkal bahwa ”pemberontakan” DI/TII Kartosoewirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi, Ibnu Hajar di Kalimantan, dan Daud Beureuh di Aceh merupakan akumulasi kekecewaan rakyat atas tidak diakomodasinya aspirasi mereka untuk menerapkan hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia (al-Chaidar, 1999). Rasanya tidak etis jika kita memberi argumen bahwa mereka bukan ”tipikal Islam Indonesia,” karena ”pemberontakan” terjadi di berbagai daerah.


Kelima, ironisme yang kesekian adalah bahwa gejolak yang diakibatkan oleh pencoretan tujuh kata ini justru ”diapresiasi” oleh pemerintah kala itu dengan pendekatan militer. Kita akan melihat perlakuan pemerintah yang berbeda dengan ancaman dari ”Indonesia Timur” (mohon perhatikan tanda kutip, sekali lagi ”Indonesia Timur”) yang diapresiasi dengan sangat baik, yakni dengan dikabulkannya ’ultimatum’ mereka, sekalipun belum jelas akurasinya.


Keenam,
yang makin menambah ironisme ini, adalah fakta tak terbantahkan bahwa gerakan-gerakan separatis semacam Republik Maluku Selatan dan Gerakan Papua Merdeka tetap muncul meskipun tujuh kata dalam Piagam Jakarta telah dicoret. Sehingga muncul sebuah keraguan, apakah memang terdapat relevansi antara Piagam Jakarta dengan isu disintegrasi bangsa? Pun demikian pula lepasnya Timor Lesté, munculnya Gerakan Aceh Merdeka beberapa waktu lalu, menyusul Riau, dan beberapa daerah lain, sebetulnya memberi gambaran pada kita bahwa isu distintegrasi ini sama sekali tidak berkorelasi dengan ideologi negara. Faktanya dapat dilihat, bahwa isu penegakkan Syariat ini belum lagi bergema, gerakan untuk memisahkan diri dari NKRI justru telah muncul. Isu disintegrasi ini, mengutip Anis Matta, hendaklah dipandang secara jernih, bahwa masalah yang sebenarnya justru terletak pada usia keadilan Republik ini, yakni keadilan pemerintah pusat kepada daerah. Kita dapat melihat bahwa daerah yang ingin memerdekakan diri itu adalah daerah-daerah yang selama ini merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat (Anis Matta, 2006).


Menghindari Pembicaraan


Dari argumen di atas, pertanyaan yang lahir adalah, apakah karena tidak dapat menjawab argumen historis ini, kalangan yang menolak penerapan Syariat Islam di Indonesia kemudian menyepakati agar amandemen UUD tidak menyentuh isu dasar negara. Dengan alasan bahwa Pancasila sudah menjadi kesepakatan para founding father Republik Indonesia. Padahal faktanya, yang merupakan kesepakatan para Founding father NKRI, justru adalah Piagam Jakarta yang ditandatangani pada 22 Juni 1945, sebelum akhirnya dicoret sesaat menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustuis 1945. Menghindari Piagam Jakarta sebetulnya justru menunjukkan bentuk ketidakpenghargaan terhadap keringat para founding father NKRI itu sendiri. Hal ini sekaligus membantah pandangan yang mengatakan bahwa Pancasila merupakan hasil dekonfessionalisasi yang lahir dari kompromi para pendiri republik ini.


Anti Klimaks


Terlepas dari semua argumen di atas, sebetulnya penulis termasuk kelompok yang tidak sepakat dengan isu dicantumkannya kembali tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Mengingat ada peluang diskriminasi di dalamnya. Yakni hanya Syariat Islam yang diakomodir oleh negara, sementara syariat agama lain—kalau ada—tidak di akomodasi. Hal ini dapat menimbulkan pandangan adanya kesenjangan yang selama ini dikhawatirkan, yakni munculnya warga negara ´kelas satu´ dan ´kelas dua.´(hal ini pun sesungguhnya tidak perlu dikhawatirkan, karena penganut agama lain memang tidak menginginkan syariat agamanya di terapkan oleh negara).


Selain itu, Ketidaksepakatan penulis terhadap formalisasi Piagam Jakarta ini selain disebabkan karena memandang mereka yang berhasrat menghidupkan kembali isu ini telah terjebak dalam idealisme yang tidak realistis dalam konteks kekinian, juga mengingat ada banyak hal yang perlu dibenahi sebelum isu ini dilemparkan ke ruang publik. Bahwa Piagam Jakarta bukanlah satu-satunya rumusan final yang sakral bagi pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia. Pemunculan isu ini di saat yang belum tepat justru dapat menjadi bumerang bagi Syariat itu sendiri. Karena tidak dapat disangkal, realitas pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam masih jauh dari ideal. Pendidikan politik bagi ummat tentang landasan filosofis, tinjauan praksis, serta dekonstruksi wacana lama tentang betapa rigidnya Syariat Islam harus didahulukan ketimbang terburu-buru memaksakan formalisasi disaat masyarakat belum memahaminya secara tepat. Inilah kritik terhadap kaum strukturalisme Islam, seolah dengan formalisasi maka semua masalah dapat diatasi.


Namun demikian, argumentasi historis sebagaimana diatas tampaknya diperlukan untuk merubah paradigma tentang Piagam Jakarta yang selama ini kurang dibedah secara jujur. Bahwa betapa peristiwa pencoretan itu laksana sebuah ”Penghianatan agung” yang selama ini terus ”dibangga-banggakan” oleh beberapa kalangan . (catatan: Pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta ini secara resmi berarti pula bahwa Syariat Islam di Indonesia dinyatakan tidak lagi berlaku. Sekaligus pada akhirnya menetaskan hukum konvensional yang kemudian berlaku hingga hari ini. Sebagai sebuah perbandingan sederhana, Dalam hukum konvensional kita, seorang tahanan akan diganjar dengan hukuman kurungan/penjara. Jika diasumsikan seorang tahanan mendapat jatah makan sehari dua kali, yang setara dengan Rp 1500,- (artinya, Rp 700,- sekali makan). Dengan asumsi hanya terdapat satu juta orang kriminalis di seluruh Indonesia, maka negara harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp 1.500.000.000,- (Rp 1,5 M) perhari. Ini berarti Rp 45.000.000.000,- (Rp 45 M) dalam satu bulan, atau Rp.540.000.000.000,- (Rp 540 M) dalam satu tahun. Anggaran negara sebesar ini digunakan "hanya" untuk memberi makan para tahanan dan belum terbukti mampu memberikan efek jera. Hal ini dibuktikan dengan tidak sedikit diantara mereka yang menjadi residivis, karena tangan yang dahulu digunakan untuk mencuri misalnya, masih bisa digunakan untuk mencuri. Terlebih hukuman ini kurang memberikan efek domino bagi masyarakat lainnya.


Pun dengan prosesi hukuman mati dalam hukum kita, Siapakah yang dapat menjamin bahwa Ayodhya Prasahad Chobey, tereksekusi mati kasus narkoba asal India itu, betul-betul di hukum mati? Demikian pula dengan (tanpa maksud melecehkan agama manapun) Fabianus Tibo, tidak ada yang menjamin bahwa keduanya betul-betul dieksekusi mati, Karena pelaksanaan eksekusi berlangsung tertutup tanpa ada wartawan yang meliput, apa lagi masyaraat yang melihat. Terlebih setelah dieksekusi "mayat"nya langsung dimasukkan ke dalam peti tanpa ada satu orang pun yang diperbolehkan membukanya. Metode eksekusi semacam ini sangat memberi peluang bagi tindak pidana baru seperti penyuapan. Belum termasuk jika ditanyakan seberapa signifikan efek positif bagi masyarakat atas metode eksekusi semacam itu? Eksekusi seharusnya dilihat langsung oleh masyarakat sehingga menutup peluang adanya manipulasi, selain itu efek domino yang dihasilkan jelas lebih efektif. Sehingga efisiensi hukum benar-benar jelas, mengobati sekaligus mencegah penyakit datang kembali. Solutif sekaligus preventif.


Logika ini diakui terlampau sederhana, namun logika sederhana ini menggambarkan betapa tidak efektifnya hukum konvensional kita. Artinya adalah, kekhawatiran tentang "efek negatif" dari penegakkan Syariat Islam, baru berada dalam level "kekhawatiran," sementara ketidakefektifan hukum konvensional telah terlihat nyata.)



Artikulasi Politik: Mencari Solusi


Perdebatan antara kaum sekular dan Islamis (termasuk pula perdebatan antara kaum kultural vs struktural) sepenuhnya dapat diyakikni sebagai idealisme untuk mencari solusi terbaik bagi problematika kebangsaan kita. Baik kaum sekular maupun kaum Islamis, keduanya berangkat dari keyakinan bahwa republik ini membutuhkan solusi bagi krisis multidimensi yang menyelubunginya. Keduanya memiliki visi dan orientasi yang sama, hanya dalam persepsi dan perspektif solusi yang berbeda.

Sebagaimana kita ketahui, dalam segala aspek kehidupan berbangsa, kita berhadapan dengan lebih dari satu masalah. Pelik problem ekonomi yang melilit bangsa, bobroknya mental para birokrat pusat hingga daerah, rusaknya lembaga hukum, kepolisian, hingga mental rendah diri para pendidik sehingga merasa perlu untuk memberi bocoran jawaban Ujian Nasional kepada siswanya, serta lebih dari seribu masalah lain yang ”menunggu” perbaikan.


Dalam ceramah kuliah pada 3 April 2007 di Ruang Teater Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, pengamat Politik Bachtiar Effendy menghempaskan semua gelisahnya tentang gambaran kondisi bangsa yang patut menjadi perhatian kita bersama. Bachtiar Effendy memberikan sebuah solusi alternatif dalam pendekatan kultural. Bahwa yang dapat kita lakukan adalah bersungguh-sungguh memperbaikinya melalui aspek pendidikan. Dari arah pendididkan ini kemudian diharapkan lahir generasi yang memiliki kepekaan dan integritas tinggi, serta memiliki rasionalitaas politik yang memadai. Sehingga tidak lagi memilih para pemimpin yang bermental rusak.


Namun pertanyaan yang lahir kemudian adalah seberapa efektif solusi ini jika perbaikan hanya dimulai dari aspek pendidikan? padahal kejahiliyyahan telah merasuk dalam segala sendi kehidupan. Karena para birokrasi, politisi, praktisi hukum mulai dari kepolisian hingga pengadilan, yang kita kritik itu, seluruhnya adalah mereka yang berpendidikan. Jika harapan besar ini kita tujukan kepada mereka yang berpendidikan tinggi, yang (dianggap sebagai manusia ’melek politik’ sehingga diharapkan) memiliki nalar rational choice dalam menentukan pilihan politiknya, jumlah suara mereka akan dikalahkan oleh mayoritas masyarakat yang tidak memiliki rational choice seperti itu, bahkan cenderung berpikir praktis-pragmatis.


Dalam hal ini diperlukan adanya perbaikan yang meliputi semua aspek kehidupan: ekonomi, sosial, budaya, kemanusiaan, birokrasi, militer, hingga politik dan struktrur personalia pemerintahan. Sehingga perbaikan dimulai dari sini, dari segala aspek. Hal ini menjadi kebutuhan, karena perbaikan yang diawali dari sudut pandang yang parsial, hanya akan melahirkan produk yang juga parsial. Bila perbaikan hanya dimulai dari satu aspek, ia akan dikalahkan oleh aspek yang lain yang belum tersentuh perbaikan. Dibutuhkan adanya gerakan yang tersistematika dan terkoordinasi dengan baik untuk memperbaiki kondisi ini secara menyeluruh. Al-haqq bi lâ niżâmin, yaġlibuhu al-bâthilu bi al-Niżâmin.



Mental bobrok para birokrat adalah hasil dari sistem yang memungkinkan adanya penyimpangan tersebut. Terjadinya ketidakadilan hukum adalah karena ketentuan hukum yang dijadikan acuan memang memungkinkan untuk itu. Munculnya borok pendidikan pun adalah implikasi dari acuan program pendidikan yang memberi peluang untuk itu. Sebuah kritik bagi kaum kultural, bahwa nalar kulturalisme mengandaikan perbaikan ini dapat dicapai hanya melalui semangat atau ”paradigma sufi” yang seyogyanya dianut oleh seluruh komponen bangsa, sehingga diharap dengan hati para sufi, betapapun sesungguhnya bobrok suatu sistem, kejernihan hatinya mampu menundukkan syahwat dunia yang saat ini menggelayuti bangsa. Jika masyarakat sudah memahami spirit sufistik ini dengan baik maka institusionalisasi menjadi tidak penting. Karena kehidupan saling menghormati, persamaan hak, keadilan, kejujuran, toleransi, ramah tamah dan seribu sifat positif yang ’sempat’ menjadi trademark Indonesia dapat dicapai. Inilah maksud dari syariat sesungguhnya, Nalar ini kemudian sepenuhnya menghindari institusionalisasi.


Permasalahannya adalah, kita tidak mungkin menyadarkan seluruh komponen bangsa ini dengan pendekatan tersebut, karena tidak semua masyarakat dapat memahami spirit sufistik yang ditawarkan. Sulit membayangkan manusia yang secara natural merupakan makhluk yang sulit diatur, secara keseluruhan menerima gagasan ini tanpa koersifitas negara. Koersifitas negara diperlukan karena tidak semua orang mau secara sadar diajak untuk berbuat baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan hukum. Doktrin ini berlaku pada semua format negara, apakah ia sekular maupun agama.


Berbanding terbalik dengan pendekatan kultural diatas, kaum struktural berandai-andai dengan institusionalisasi tanpa memandang urgensi kesadaran masyarakat tentang hakikat Islam itu sendiri. Nalar ini mengandaikan bahwa kesadaran ummat, dalam pandangan mereka, dapat dicapai setelah formalisasi syariat ini diterapkan. Bahwa keadilan, persamaan hak, kesejahteraan, dapat dicapai secara utuh melalui formalisasi Syariat. Karena definisi dari keadilan, persamaan, kesejahteraan, dan sebagainya yang menjadi maqâshid dari Islam sepenuhnya mengacu pada definisi dari literatur Islam.


Permasalahannya adalah bahwa ada terlalu banyak hal yang perlu dibenahi sebelum formalisasi ini diterapkan di level negara. Pengetahuan tentang syariat itu sendiri dan Kondisi ekonomi ummat, adalah hal yang perlu dibenahi terlebih dahulu. sehingga berbicara tentang syariat Islam tidak terjebak pada formalisasi yang dalam stereotype masyarakat masih dipandang rigid. Usaha mengakrabkan masyarakat dengan Syariah dapat dimulai dari munculnya bank syariah sebagai implementasi dari semangat ekonomi Islam, Islamisasi pendidikan, Islamisasi politik, hingga Islamisasi ilmu pengetahuan, sehingga blueprint dari nilai positif Syariat telah tergambar dalam benak masyarakat sebelum konsep ini diformalisasikan. Dari sini, Islamisasi tidak diartikan, seperti yang selama ini dimaknai secara pejoratif sebagai ”arabisasi” tempat-tempat umum, penggunaan simbol-simbol Arab, dsb., tetapi lebih pada kesadaran mengaplikasikan Islam dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Sehingga, ketika muncul kesadaran untuk menginstitusionalisasikan syariat dalam level negara (agar mereka yang tetap menolak tunduk pada hukum ini), paradigma yang terbentuk sudah mendukung untuk itu. Hal ini untuk menghindari bumerang yang dikhawatirkan terjadi ketika syariat diterapkan pada saat yang belum tepat. Bukankah jika keadilan dan kesejahteraan telah mewujud dalam masyarakat, sehingga tindak kriminalitas dapat ditekan, maka eksekusi potong tanganpun—yang selama ini ditakuti—tidak diperlukan?
(catatan: Dalam riwayat Abu Daud dan Nasa’i disebutkan kisah tentang Abbad ibn Sharjil yang sedang dalam kelaparan, rasa lapar tersebut memaksanya untuk mencuri buah-buahan di suatu kebun dan menyimpannya dalam bajunya. Ketika sang pemililk kebun meminta Nabi untuk menghukum Abbad bin Sharjil, ternyata Nabi saw berkata, “pencurinya adalah orang bodoh. Kamu tidak menasehatinya sedang dia dalam kelaparan sementara kamu tidak memberinya makanan.” Lalu Nabi Saw., mengembalikan pakaian Abbad dan—bahkan—memberinya makanan.

Mengomentari kisah tadi, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa secara filosofis menjadi kewajiban Masyarakat Muslim untuk menjamin terciptanya keadilan dan kesejahteraan, sebelum memberikan hukuman kepada pelanggar hukum. Apabila telah terbangun sebuah masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera, sementara masih terdapat tidak kriminalitas misalnya, maka sudah menjadi hal yang pantas untuk dijatuhkan hukuman. Dalam batas-batas seperti inilah diperlukan adanya kontekstualisasi yang lebih realistis dari Syariat Islam, sehingga kontekstualisasi tidak diartikan secara liberal dengan menegasikan Syariat)



Dari sini kemudian menjadi tidak relevan lagi pertanyaan bagaimana kita bisa mengetahui apakah suatu hukum betul-betul dari Tuhan atau tidak, karena maslahat yang terwujud lebih menonjol dari spekulasi semacam itu. Termasuk pertanyaan hukum Islam versi mana yang akan diterapkan, karena dalam konteks kenegaraan manapun, apakah negara sekular maupun negara agama, sikap koersif (memaksa) negara mutlak diperlukan. Dan hukum dibuat untuk dipatuhi. Dalam sejarah Islam pun kita tidak pernah menemukan adanya kesulitan dalam hal ini.


Metode pendekatan terhadap masyarakat diperlukan untuk memberikan gambaran yang utuh tentang Islam dengan menawarkan sebuah pandagan hidup yang menyelamatkan, yakni pandangan hidup yang selalu merasa diawasi oleh Allah (murâqabatulLâh). Yaitu suatu kesadaran bahwa Allah lah yang mengawasi, serta mengatur kehidupan. Dari pandangan hidup semacam inilah, justru kekhawatiran akan perjudian, pornografi, kegiatan asusila, dsb., dapat ditekan semaksimal mungkin. Di sinilah letak pentingnya mengaplikasikan Syariat Islam secara komprehensif, baik individual maupun kolektif, tidak parsial yang terbatas pada satu atau beberapa aspek saja.

Wallahu A’lam



Daftar Pustaka
Al-Quran dan terjemahnya. Departemen Agama.
Hassan Hanafi Aku bagaian dari Fundammentalisme Islam (Yogyakarta: Islamika, 2003)
Munawir Sjadzali, Islam dan tata Negara (Jakarta: UI Press, 2000)
Musthafa Mahmud, Islam Kiri (Jakarta: GIP, 1999)
Khalif Muammar, Politik Islam: antara Demokrasi dan Teokrasi” dalam Islamia. Thn. I. No. 6, h. 99.
Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik (Jakarta: Serambi, tt.)
Daud Rasyid, “Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan.” (Jakarta: Usamah Press, 2003).
Bachtiar Effendy, Islam dan Negara (Jakarta: Paramadina, 1998)
Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA.ed., Syariat Islam Yes, Syariat Islam No.” (Jakarta: Paramadina,2001.
Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia, Sekarmadi Maridjan Kartosoewirjo (Jakarta: Darul Falah, 1999)
Firdaus AN, Dosa-dosa yang Tidak Boleh Terulang (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993)
Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara (Jakarta : Fitrah Rabbani, 2006), h. 37-51.
Ian adams, Ideologi Politik Mutakhir,(Yogyakara: Qalam, 2003)




Abstraksi


Dewasa ini, seiring dengan perkembangan peradaban manusia, interaksi serta paradigma sosial masyarakat dunia telah mengalami perubahan yang barangkali tidak pernah terbayangkan pada zaman-zaman dahulu. Munculnya kesadaran akan persamaan, keadilan, kebebasan, rasioalisme, kesetaraan, dan lain sebagainya telah mengalami titik kesadaran yang paling tinggi—paling tidak sampai saat ini—dalam sejarah peradaban manusia. Munculnya kesadaran akan “nilai-nilai universal” ini sedikit banyak berimplikasi pada paradigma sebagian kalangan tehadap konsep agama-agama. Bagaimana agama misalnya, memberikan respon terhadap ide-ide kebebasan berfikir yang pada beberapa hal bertentangan dengan mainstream keagamaan yang membatasi akal pada beberapa dimensi. Atau dalam hal lain, bagaimana agama kemudian harus menjawab “tantangan manusia modern” akan perlunya kesetaraan. Konsep Kasta dalam agama Hindu kemudian akan (dan harus) berbenturan dengan gagasan kesetaraan ini. Demikian pula, Islam misalnya, harus memberikan jawaban yang rasional—sesuai dengan nalar manusia modern—tentang diperbolehkanya konsep poligami yang dianggap bertentangan dengan asas persamaan dan kesetaraan manusia. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Tulisan ini mencoba memberikan sebuah paradigma, bagaimana agama, Dalam hal ini Islam memandang isu-isu serta gagasan yang lahir seiring—atau akibat dari—lahirnya modernisme; fundamentalisme, terorisme, rasionalisme, feminisme, pluralisme serta multikulturalisme.


Pandahuluan


Islam merupakan agama dalam pengertian amat luas. Sebagian kalangan memahami Islam bukan hanya sebagai ‘agama,’ namun Islam dipahami sebagai sebuah system yang Syamil wa mutakamil, lengkap dan komprehensif dengan segala makna yang terkandung dari komprehensivitas itu. Berbeda dengan mereka yang menolak asumsi ini, kalangan yang menjadikan Islam sebagai way of life memaknai al-Diin (sebagai predikat yang hanya melekat pada Islam), sebagai sebuah konsep yang secara komprehensiif mengatur semua aspek kehidupan manusia. Islam diimani sebagai sebuah konsep hidup yang meliputi seluruh dimensi kehidupan yang meliputi dimension of logic tentang hukum benar dan salah, dimension of ethics tentang baik dan buruk, bahkan esthetics dimension, Islam menjadi pandangan hidup yang mengatur mana keidahan yang layak dinikmati manusia dan mana yang tidak. Islam adalah symbol dan substansi pada saat yang sama.


Dalam perspektif ini, al-Diin tampaknya lebih tepat dimaknai sebagai sebuah sistem dari pada sebagai ‘agama.’ Karena ketika al-Diin diterjemahkan sebagai ‘agama’ dalam pengertian bahasa Indonesia, atau religion dalam bahasa Inggris, ia dipandang telah mengalami reduksi atau penyempitan makna yang terlampau jauh. Yakni menegasikan wilayah komprehensifitas Islam yang meliputi aspek ekonomi, sosial, politik, militer, dsb. Fahty al-Durayni, seorang ilmuwan dari Universitas Yordania, sebagaimana dikutip oleh Khalif Muammar (poltik Islam antara Demokrasi dan Teokrasi, 2007) , menyadari perbedaan konsep agama dan implikasinya terhadap hubungan antara agama dan dimensi social lainnya. Al-Durayni berpendapat bahwa kehadiran Islam justru telah merevolusi makna agama yang sebelumnya dimaknai sebatas ritual-spiritual yang hanya mengatur dimensi ethics (sebagai manifestasi dari hubungan vertical antara manusia dengan Tuhan). Kehadiran Islam menurutnya justru menunjukkan hubungan antara agama/religion dengan politik, agama dan sains, dunia dan akhirat, dan seterusnya.


Dari paradigma awal yang demikian, kaum Islamis kemudian secara meyakinkan memposisikan Islam sebagai sebuah konsep hidup, way of life, dalam segala aspek kehidupan mereka, Dalam berpolitik, dalam kehidupan perekonomian, menuntut ilmu, bekerja, dsb. Semuanya didorong oleh semangat bersyukur pada Allah dan dalam kerangka beribadah kepada-Nya. Itulah sebabnya secara umum kita melihat kaum “fundammentalis” Islam yang konsisten dengan ideogi keislamannya, semacam gerakan tarbiyah (PKS), Hizbut Tahrir, Jama’ah tabligh, merupakan contoh ideal dari prototype manusia yang memiliki keikhlasan dalam bekerja, ketelitian dan kejujuran, kesungguhan dalam menuntut ilmu, keindahan dalam kehidupan rumah tangga, serta merupakan teladan dalam kehidupan personal maupun publik. Sebuah karakteristik yang tampaknya cukup jarang ditemui di kalangan para pemuda pemuja sekularisme. Fakta ini diamini oleh Hassan Hanafi (2003) ketika melihat karakteristik gerakan pemuda Ikwanul Muslimin, dengan menyatakan bahwa kita patut menangis melihat kaburnya nilai dan keimanan, melihat perilaku para pemudi dan remaja yang sudah semakin jauh dari semangat dan akhlak Islam, sehingga Mesir semestinya menyesal telah membubarkan Ikhwanul Muslimin yang cabang-cabangnya di perkampungan bahkan sudah seperti sekolah-sekolah pendidikan akhlak, agama dan nasonalisme.


Kerangka Awal Paradigma Komprehensivisme Islam

Rasionalisme Islam
Untuk mengawalinya penulis ingin membedakan antara rasio dan logika. Rasio (ratio) secara etimologis berarti akal. Dalam hal ini berfikir rasional (rationalism) berarti sebuah konstruksi berfikir yang berlandaskan pada penempatan rasio sebagai panglima kebenaran. Sementara itu, logika berarti pemahaman yang berasal dari hubungan sebab akibat. Berfikir logis dalam hal ini diartikan sebagai konstruksi berfikir yang menyandarkan pada pola hubungan sebab akibat. Eksistensi akibat adalah karena adanya sebab.

Salah satu indikator modernisme adalah berkuasanya rasio daripada dogma, dalam bahasa lain berarti kemenangan logos atas mitos. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan tekhnologi adalah hasil dari kemenangan rasio daripada mitos-mitos primitivisme. Dari indikator ini, Islam kemudian dibenturkan dengan modernism dengan asumsi bahwa beberapa aspek dalam Islam bertentangan dengan rasionalitas manusia modern. Sehingga dengan asumsi ini, Islam dipandang dapat menghambat kemajuan peradaban. Namun menjadi menarik kemudian adalah seberapa konsisten manusia “modern” menggunakan rasionalisme ini?

Untuk mencapai sebuah kebenaran, pendekatan yang digunakan harus komprehenshif atau tidak boleh parsial, sehingga konklusi yang dihasilkanpun adalah kebenaran yang tidak parsial. Penulis ingin mengajak kita untuk berfikir tidak hanya dari pendekatan ilmu social, tetapi juga melalui pendekatan ilmu eksakta. Hal ini diperlukan agar tercapai apa yang dinamakan dengan berfikir komprehensif, yakni tidak menggunakan paradigma hanya dari satu sudut pandang saja (social saja atau eksakta saja). Terlebih pula, mengingat salah satu keunggulan modernitas adalah kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi yang tidak lepas dari dua pendekatan ini, sosial dan eksakta.

Dalam kacamata ilmu eksakta di dunia tekhnologi yang sudah modern ini, terdapat sebuah misteri bagi para ilmuwan tentang batas-batas alam semesta. Pertanyaan yang seringkali muncul adalah, apakah alam semesta yang terdiri dari jutaan galaksi ini memiliki batas, atau tidak? Sangat tidak masuk akal, jika alam semesta ini tidak berbatas, dalam hal ini, akal manusia modern yang rasional itu, dituntut untuk dapat memahami eksistensi sebuah dimensi ruang yang terus menjauh dan tidak memiliki batas bahkan terus mengembang dan menjauh menurut teori astonomi. Sebaliknya, jika seandainya alam semesta ini memiliki batas, lalu pertanyaannya ada apa di luar batas alam semesta tersebut? Ruang kosongkah yang pada akhirnya juga tidak memiliki batas?? Ataukah sebuah materi yang padat yang juga tanpa batas?

Befilsafat demikian sungguh membuat kita merenung bahwa dalam alam modern ini, tenyata ada hal yang harus diakui berada diluar jangkauan rasionalitas manusia. Ada hal yang sesungguhnya tidak mampu dijangkau oleh akal. Barangkali tidak terlalu salah jika kita menyebutnya dengan “filsafat batas”.

Pertanyaannya adalah, jika kita menerima fakta empiris ilmu pengetahuan ini meskipun tidak masuk akal, misterius, ‘tidak rasional’, mengapa doktrin-doktrin Islam tentang keberadaan surga dan neraka misalnya, kemudian diragukan—justru—karena dipandang tidak rasional? Bukankah tampaknya terdapat standar ganda yang digunakan oleh kalangan –yang mengklaim-rasionalis itu untuk membenturkan Islam dan modernisme? Dalam perspektif Islam, Sesungguhnya penggunaan nalar rasional memang tidak berkorelasi dengan kemajuan peradaban. Karena manusia primitive pada zaman dahulupun telah menggunakan nalar rasionalnya untuk meragukan kebangkitan alam kubur. Bagaimana mungkin organ-organ biologis makhluk hidup yang telah melebur menjadi molekul-molekul yang berbeda dari asalnya dapat menyatu kembali?

Sementara itu disisinya yang lain, apakah memang keimanan tentang adanya surga dan neraka akan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi? Tampaknya kita harus mempertanyakan kembali apakah memang doktrin keagamaan dalam Islam akan berbenturan dengan kemajuan zaman sebagaimana yang terjadi dalam agama Kristen yang memaksa mereka untuk berfikir lebih rasional dari dogma agama mereka seperti yang dialami oleh masyarakat Kristen Eropa abad pertengahan?

Kita akan melihat pula bahwa pada banyak hal, fakta-fakta ilmu pengetahuan justru semakin memperkuat doktrin dan wahyu al-Qur’an. Sebagai hanya salah satu contoh, dari sekian banyak fakta yang terdapat dalam al-Qur’an, adalahTeori awal mula terjadinya alam semesta yang dikenal dengan teori Bigbang yang diakui oleh seluruh ilmuwan astronomi sebagai awal mula jagad raya. Teori ini menyatakan bahwa seluruh materi dalam alam semesta ini berasal dari sebuah materi yang sangat besar, yang karena adanya suatu gaya maka materi tersebut meledak sehingga tepecah menjadi galaksi—galaksi, justru telah terdapat dalam al-Qur’an,


"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS. 21:30)



Bagaimana mungkin kita akan meragukan ayat yang telah terbukti secara empiris ini? Dari sini seyogyanya kita memandang bahwa, kaum Islamis tidaklah terjebak dalam dogma keagamaan mereka, tetapi justru doktrin keagamaan tersebutlah yang telah menemukan ruang buktinya pada realitas empiris ilmu pengetahuan. Sehingga keyakinan terhadap fundamentalitas keagamaan mereka pada akhirnya semakin menguat. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa Islam tidak pernah bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan indikator utama kemajuan peradaban.


Selanjutnya, sebagaimana di atas, bahwa berfikir logis adalah berfikir yang dilandasi oleh prinsip sebab akibat. Penulis ingin memberi gambaran, bahwa telah jelas al-Qur’an adalah benar, bahkan terbukti secara empiris seperti disebut tadi, lalu mengapa kita tidak mempercayai dengan pemahaman yang sama terhadap ayat-ayat yang lain? Yang berbicara tentang pranata social, hukum, perundang-undangan, dan sebagainya yang juga turun dari Allah sebagaimana ayat-ayat tadi?

Mengapa tidak kita memposisikan bahwa, jika ayat yang satu benar dan shahih li kulli makan wa zaman, maka ayat yang lain juga sama, dengan tidak meragukannya dengan berargumentasi bahwa ia tidak terlepas dari dimensi ruang dan waktu. Padahal mempercayainya sama sekali tidak berelevansi dengan kemunduran peradaban atau menolak kemajuan. Fakta empiris di masyarakat kita membuktikan bahwa kalangan “fundamentalis” semacam Hizbut Tahrir, Tarbiyyah, dan sebagainya justru lebih modern daripada kalangan rasionalis misalnya. Mereka akrab dengan internet, menguasai filsafat serta sejarah bangsa-bangsa dunia, menyadari urgensi pemeliharaan lingkungan, bahkan tidak memiliki sikap individualis—ini uniknya.


Inilah yang terjadi, bahwa doktrin keagamaan dalam Islam tidak berelevansi negatif dengan kemajuan peradaban dan modernitas. Karena Islam memiliki rasionalismenya sendiri, memiliki isme-nya sendiri.


Dari sini dapat penulis sampaikan, bahwa lahirnya isme-isme yang mencari justifikasinya dalam Islam (semacam sosialisme Islam, feminisme Islam, dsb), atau bahkan yang bertentangan dengan Islam, tidak lain hanyalah sebuah miskonsepsi yang hadir sebagai antitesa dari miskonsepsi yang lain. Misalnya gerakan feminisme Islam yang merupakan miskonsepsi terhadap Islam, merupakan respon dari miskonsepsi yang telah ada sebelumnya, yakni fakta rigiditas pada beberapa kalangan kaum muslimin yang merasa bahwa laki-laki lebih supremated dari perempuan. Dari sini ternyata, sebuah miskonsepsi dibalas secara reaksioner juga dengan sebuah miskonsepsi. Padahal jika memahaminya secara komprehensif, polemik ini tidak perlu terjadi. Karena memang Islam telah mengatur relasi laki-laki dan perempuan dengan sangat adil. Pembagian harta waris yang berbeda dilandasi oleh kewajiban yang juga berbeda, wanita tidak diwajibkan berperang (keadaan paling buruk jika perang memang betul-betul terjadi, karena kehidupan politik adalah hal yang sangat dinamis dan segala sesuatu mungkin saja terjadi, bahkan di zaman modern.) tidak diwajibkan mencari nafkah, dsb. Dari sini justru harta waris akan kembali pada perempuan juga pada akhirnya, sebagai pihak yang harus di-tanggung jawab-i oleh laki-laki.


Demikian pula dengan isme-isme semacam sosialisme Islam, gerakan spiritualisme Islam, komunisme Islam, dsb., yang kesemuanya tidak lain sebagai akibat dari parsialisme dalam memahami Islam sebagai sistem yang komprehensif. (Misalnya hanya melihat Islam dari segi sosialismenya saja, dari spiritualismenya saja, dsb.) Akan halnya pluralisme, Islam memiliki cara pandang tersendiri, bahwa penghargaan terhadap pluralitas (bukan pluralisme) adalah sebuah keniscayaan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dalam Piagam Madinah (dalam Piagam Madinah, kata ‘Muhammad’ menggunakan predikat nabi Allah , membuktikan bahwa tidak ada sekularisme dalam Islam). Keberadaan minoritas dalam sejarah Islam selalu mendapatkan posisi yang tepat, mereka dilindungi, dan tidak diwajibkan berperang. Namun mereka diwajibkan membayar jizyah, itupun besarnya ditentukan oleh penguasa secara adil dan tidak memberatkan, sebagai jaminan perlindungan terhadap mereka. Berbeda dengan umat Islam yang diwajibkan membayar pajak, namun masih diwajibkan berperang.

Pun demikian, Islam tidak mengenal sosialisme, karena Islam telah mengatur hubungan antara kaum Aghniya dengan kaum mustadh’afîn dalam nuansa yang sejuk dan sinergis tidak antagonis. Adalah sebuah kekeliruan jika memandang kedatangan Islam semata-mata hanya untuk membebaskan ploretarianitas ’Ammar ibn Yaŝir, Bilal ibn Rabah, dsb., dari borjuanisme Abu Lahab, Abu Jahl, dll. Hal ini disebabkan karena selain Islam melindungi Bilal ibn Rabah, ’Ammar ibn Yaŝir, dsb., yang kaum papa itu, Islam juga mengakui eksistensi ’Abdurrahmân ibn Auf, ’Utsmân ibn ’Affan, dan sahabat-sahabat lain yang merepresentasikan golongan pengusaha. Kehadiran Islam bukan hanya untuk membebaskan kaum mustadh’afin an sich dari perbudakan yang terjadi pada masa jahiliyyah, tetapi melahirkan sebuah gagasan baru bahwa ”golongan pengusaha” dan ”golongan buruh” dapat bersinergi dalam hubungan yang harmonis. Sebagaimana dikatakan oleh Musthafa Mahmud, Islam datang untuk menegaskan adanya persamaan dalam meraih kesempatan, menjamin hak untuk hidup dengan layak, menuju keseimbangan ekonomi antara individu dan masyarakat. Islam mengakui prinsip kepemilikan pribadi dan kepemilikan umum. Islam memerangi Abu Lahab an Abu Jahl bukan karena kebangsawanan mereka, namun menuju sebuah keadilan sosial Islam yang merupakan implementasi dari tauhid dan pandangan hidup (ketakwaan) untuk menaati ajaran-Nya.


Demikianlah framework kaum Islamis, sehingga gagasan-gagasan yang mencari labelnya dalam baju Islam, semisal feminisme Islam, sosialisme Islam, militerisme Islam, hingga gerakan tasawwuf dan institusionalisasinya (tarekat), dipandang sebagai akibat dari tidak berhasilnya pencetus gagasan-gagasan tersebut dalam memandang Islam secara komprehenshif. Gagasan-gagasan diatas adalah eksplorasi yang lahir sebagai akibat dari pandangan mereka yang terbatas secara parsial (hanya memandang beberapa aspek saja) terhadap Islam yang sebetulnya komprehenshif (al-Syumûliyyah al-Islâmiyyah). Lalu mengapa muncul hal yang demikian? Tampaknya, Hal ini lebih disebabkan oleh apa yang disebut oleh sosiolog William Isaac Thomas (1863-1947) sebagai ’Logika Situasional’ yakni konfigurasi faktor-faktor sosial yang terjadi pada waktu dan tempat yang memengaruhi persepsi seseorang terhadap sesuatu. Gamal Abdel Nasser dan Muammar Qadhafi memilih Sosialisme Islam karena logika situasional mendorong mereka melakukan hal itu, demikian pula untuk kasus-kasus yang lain. Wallahu A'lam

bookmark
bookmark
bookmark
bookmark
bookmark

followers

Pemikiran Islam

Pemikiran Islam
Committed to the Truth