catatan siapa ?

ilmu yang beramal, amal yang berilmu

Islam Integral

Diposting oleh Sigit Kamseno Kamis, 17 Juni 2010



Islam Integral,
madzhab alternatif dari dikotomi Islam struktural-Islam kultural


”Opsinya bukan hanya seperti gincu yang formalis, atau garam yang substansialis. Tetapi ia lebih seperti villa, yang bukan hanya indah secara fisik (formatif), tetapi juga nyaman secara psikis (substantif). Keduanya adalah sebuah sinergi.”


Wacana Umum seputar Artikulasi Politik Islam
Artikulasi politik Islam adalah aktualisasi pada tataran praksis dari pemikiran politik Islam. Pemikiran politik Islam itu sendiri merupakan gagasan-gagasan intelektual yang menjadikan dua sumber utama Islam, yakni al-Qur’ân dan al-Hadîts sebagai rujukan. Interpretasi terhadap dua rujukan ini kemudian terbagi dalam dua kelompok, yakni kelompok struktural, dan kultural.

Pendekatan kultural adalah sebuah strategi islamisasi dengan cara mempengaruhi perilaku sosial dan pandangan masyarakat tanpa perlu menerapkannya secara formal pada level negara. Sementara pendekatan struktural diartikan sebagai strategi yang memandang bahwa islamisasi harus dilakukan melalui struktur negara secara legal formal. Artikulasi politik dari kedua konsep ini, kemudian dibedakan antara gerakan yang bertujuan pada perubahan masyarakat (the society aimed movement) dan perubahan negara (the state aimed movement).


Dalam konteks implementasi politik, aktualisasi dari dua varian ini, diwakili oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai representasi dari kaum kultural, dan di pihak lain Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai representasi dari kaum struktural.
PKB dan PAN dipandang mewakili kelompok kultural karena kedua partai ini, meskipun berasal dari rahim komunitas Islam yakni Nahdât al‘-Ulamâ’ dan Muhammadiyyah, namun keduanya tidak memperjuangkan syariat Islam secara formal dalam konstitusi. Keduanya bahkan bukan merupakan partai yang menjadikan Islam sebagai asas. Sementara PPP dan PBB dipandang sebagai partai yang merepresentasikan Islam struktural karena kedua partai ini memiliki cita-cita untuk memformalisasikan syariat Islam dalam level konstitusional, hal ini tampak pada praksis politik kedua partai tersebut dalam memperjuangkan kembali tujuh kata dalam Piagam Jakarta

Perdebatan antara dua varian politik Islam ini tidak pernah mencapai titik temu karena kaum struktural cenderung memahami yurisprudensi hukum Islam (al-Qur’ân dan al-hadîts) melalui pendekatan yang tekstual, sehingga selalu terjebak dalam idealisme-idealisme yang normatif. Sementara kaum kultural memiliki kecenderungan untuk memahami yurisprudensi hukum Islam itu dengan pendekatan kontekstual yang mengakibatkannya terjebak dalam artikulasi politik yang kultural-substantif semata.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah artikulasi politik Islam memang harus mengacu pada dikotomi tersebut, ataukah diperlukan adanya alternatif lain? Jawaban dari pertanyaan ini akan dipaparkan pada pembahasan berikut.


Konsep Integralisme Islam sebagai Alternatif dalam Artikulasi Politik Islam

Dari perbedaan approach dalam memahami yurisprudensi hukum Islam sebagaimana dipaparkan diatas, perdebatan antara kaum struktural dan kultural ini pada akhirnya tidak pernah berkesudahan. Dari sini, menarik untuk dikembangkan, bahwa diperlukan alternatif lain diluar kedua mainstream artikulasi politik Islam ini.

Kebutuhan adanya alternatif ini, juga didukung oleh realitas politik. Selain fakta bahwa partai kultural dan struktural Islam mengalami penurunan suara pada Pemilu 2004 dibandingkan Pemilu 1999, survey yang dilakukan oleh Lembaga Riset Informasi pada bulan Februari 2008 menunjukkan adanya kecenderungan bahwa partai-partai Islam, baik yang berbasis kultural maupun yang berbasis struktural, mengalami stagnasi bahkan penurunan jumlah suara apabila dibandingkan dengan Pemilu 2004.

Perolehan Suara Partai Islam
pada Pemilu 1999, 2004, dan survey Pemilu 2009


Partai Hasil Perolehan Suara Pemilu Legislatif (%)
1999 2004 2009*
PKB 12,6 10,57 2,33
PAN 7,1 6,44 5,13
PPP 10,7 8,15 2,86
PBB 1,94 2,62 0,9
PK(S)** 1,3 7,34 11,5

* Survei dilakukan oleh Lembaga Riset Informasi pada 8-16 Februari 2009 di 33 propinsi (99 kota/kabupaten atau 3 kabupaten di 33 propinsi). Jumlah responden sebanyak 1.890 orang yang berusia di atas 17 tahun. Metode yang digunakan wawancara tatap muka dengan kuesioner terstruktur. Margin of error 2,23%, pada tingkat kepercayaan 95%.
** PKS sebagai pembanding yang tampak lebih prospektif.



Berangkat dari tren penurunan suara partai Islam kultural dan struktural ini, dibutuhkan alternatif lain dalam artikulasi politik Islam di Indonesia. Sebuah alternatif yang sesuai dengan konteks keindonesiaan saat ini, namun dengan tetap merujuk pada landasan fundamental Islam mengingat realitas Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk mayoritas Muslim—sekaligus dengan populasi Muslim terbesar di dunia—yang membawa pada kesimpulan bahwa menegasikan Islam dalam artikulasi politik nasional menjadi hal yang mustahil. Dibutuhkan alternatif politik Islam yang tidak terjebak dalam dikotomi substantif-kultural dan formalis-struktural yang sudah tidak lagi diminati publik. Sebuah alternatif yang penulis sebut dengan istilah “integralisme Islam” atau “Islam integral.” Karakteristik dari Islam integral ini akan dipaparkan pada pembahasan berikut.



Karakteristik Konsep Integralisme Islam

Konsep integralisme Islam yang penulis maksud, memiliki karakteristik-karakteristik yang membedakannya dengan nalar kultural maupun struktural dalam politik Islam. Karakteristik-karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:

1. Integrasi antara nalar tekstual dan kontekstual.
Karakteristik pertama dari konsep Islam integral ini adalah ketidakterjebakan dalam memahami dua landasan fundamental islami (al-Qur’ân dan al-hadits), yang selama ini dipahami hanya melalui pendekatan tekstual, atau kontekstual semata, terkait relevansi kedua pedoman hidup Muslim tersebut dengan konteks keindonesiaan saaat ini.
Karakteristik ini dibutuhkan, karena pendekatan yang hanya didasarkan pada pemahaman tekstual tanpa menyertakan konteks ruang dan waktu, akan menyebabkan rigiditas dalam berinteraksi dengan perkembangan zaman yang selalu berubah. Pemahaman terhadap realitas, yaitu kenyataan bahwa peradaban dan daya nalar manusia senantiasa berkembang, semestinya menjadi perhatian daripada sekadar memahami landasan fundamental islami tanpa menyertakan kontekstualisasinya.
Sebaliknya, dalam konsep integralisme Islam, pemaknaan terhadap konteks “kini” dan “disini” juga tidak mengabaikan Qur’ân dan hadîts yang merupakan fondasi kehidupan setiap Muslim. Dalam hal ini, Islam integral memberikan akomodasi antara teks dan konteks, sehingga tetap tekstual tanpa mengabaikan konteks, dan tetap kontekstual tanpa meninggalkan teks


2. Integrasi antara nalar substantif-kultural dengan nalar formalis-struktural

Karakteristik kedua dari konsep integralisme Islam ini merupakan sintesis dari paham kultural dan struktural. Dalam hal ini, konsep Islam integral kemudian menjadi kritik bagi Islam kultural dan Islam struktural itu sendiri. Contoh kritik bagi kedua pendekatan tersebut adalah sebagai berikut, bahwa nalar kulturalisme mengandaikan perbaikan dari problematika kebangsan dapat dicapai hanya melalui semangat atau ”karakter sufi” yang seyogyanya dianut oleh seluruh komponen bangsa, sehingga diharapkan dengan hati para sufi, betapapun sesungguhnya bobrok suatu sistem, kejernihan hatinya mampu menundukkan kepentingan pribadinya. Jika masyarakat sudah memahami spirit sufistik ini dengan baik maka institusionalisasi menjadi tidak penting. Nalar ini kemudian sepenuhnya menghindari institusionalisasi.
Permasalahannya adalah, amat kecil kemungkinan (atau justru tidak mungkin) menyadarkan seluruh komponen bangsa ini dengan pendekatan tersebut, karena tidak semua masyarakat dapat menerima spirit sufistik yang ditawarkan. Sulit membayangkan manusia yang secara natural merupakan makhluk yang sulit diatur, secara keseluruhan menerima gagasan ini tanpa koersifitas negara. Koersifitas negara diperlukan karena tidak semua orang mau secara sadar diajak untuk berbuat baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan hukum. Doktrin ini berlaku pada semua format negara, apakah ia negara sekular maupun negara agama.

Berbanding terbalik dengan pendekatan kultural diatas, kaum struktural berasumsi bahwa perbaikan dapat segera dilakukan melalui institusionalisasi hukum Islam tanpa memandang urgensi kesadaran masyarakat tentang hakikat Islam itu sendiri. Nalar ini mengasumsikan bahwa kesadaran umat dapat dicapai setelah formalisasi syariat ini diterapkan. Bahwa keadilan, kesetaraan, persamaan hak, kesejahteraan, dapat dicapai secara utuh melalui formalisasi syariat. Karena definisi dari keadilan, persamaan, kesejahteraan, dan sebagainya yang menjadi maqâshid dari Islam sepenuhnya mengacu pada definisi dari literatur Islam.

Kritik bagi pendekatan ini adalah, bahwa ada terlalu banyak hal yang perlu dibenahi sebelum formalisasi ini diterapkan di level negara. Pengetahuan tentang syariat itu sendiri dan kondisi ekonomi ummat, adalah hal yang perlu dibenahi terlebih dahulu. Sehingga berbicara tentang syariat Islam tidak terjebak pada formalisasi yang dalam stereotype masyarakat masih dipandang rigid. Usaha mengakrabkan masyarakat dengan syariah dapat dimulai dari munculnya bank syariah sebagai implementasi dari semangat ekonomi Islam, islamisasi politik, islamisasi pendidikan, hingga islamisasi ilmu pengetahuan, sehingga blueprint dari nilai positif syariat telah tergambar dalam benak masyarakat sebelum konsep ini diformalisasikan. Dari sini, Islamisasi tidak diartikan, seperti yang selama ini dimaknai secara pejoratif sebagai “arabisasi” tempat-tempat umum, penggunaan simbol-simbol Arab, dsb., tetapi lebih pada kesadaran mengaplikasikan Islam dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Hal ini untuk menghindari bumerang yang dikhawatirkan terjadi ketika syariat diterapkan pada saat yang belum tepat. Apabila keadilan dan kesejahteraan telah mewujud dalam masyarakat, sehingga tindak kriminalitas dapat ditekan, maka sebetulnya eksekusi potong tangan pun—yang selama ini ditakuti—dapat dihindari.

Dari contoh ini, konsep Islam integral merupakan integrasi sekaligus dekonfessionalisasi dari nalar kultural dan struktural. Hal ini menjadi kebutuhan disebabkan karena, mengutip Anis Matta, perbaikan yang diawali dari perpektif yang parsial, hanya akan melahirkan produk kebaikan yang parsial pula. Bahkan tidak menutup kemungkinan, produk parsial tadi akan “dikalahkan” oleh keburukan dari dimensi lain yang belum tersentuh perbaikan.


3. Integralisme antara idealisme dan realita
Karakteristik ini diperlukan agar artikulasi politik Islam dapat teraplikasikan secara konkrit alih-alih terjebak dalam romantika idealisme atau cita-cita Islam yang tidak realistis dalam konteks “kekinian” dan “kedisinian.” Sebaliknya, karakteristik ini juga berperan penting agar artikulasi politik Islam tidak terjebak dalam pragmatisme dengan mengabaikan idealisme-idealisme Islam yang merupakan landasan fundamental yang divine sebagai penjaga perilaku moral politik yang efektif.


4. Integrasi antara dimensi yang sakral dan yang profan

Karakteristik terakhir ini, bukan didefinisikan dengan menyakralkan sesuatu yang profan atau melakukan profanasi terhadap sesuatu yang sakral. Karakterisktik ini lebih bermakna sebagai “worldview” atau sebuah pandangan yang misalnya, mengutip Yudi Latif, dalam komunitas-komunitas Muslim dari madzhab dan tradisi apapun menyetujui bahwa tauhid merupakan inti keyakinan, tradisi dan amalan Islam, konsepsi tauhid ini kemudian membawa pada satu keyakinan, bahwa Tuhan serba hadir dalam setiap aspek dan praktek kehidupan Muslim, sehingga dimensi-dimensi yang profan seperti politik, ekonomi, budaya, militer, dan semacamnya tetap berjalan dalam kesadaran akan “kehadiran” Tuhan ini.

Demikianlah empat karaktersitik khas yang dimiliki oleh konsep integralisme Islam.

2 komentar

  1. Unknown Says:
  2. terimakasih atas bantuannya telah menyajikan materi yang saya cari selama ini

     
  3. Is the casino at your peril? - Dr. Gary
    I 순천 출장마사지 was only 18 when I was 동해 출장샵 in 사천 출장마사지 a gambling room and was wondering what 수원 출장샵 the casino is actually betting on, I would like to 제주 출장마사지 start playing slots.

     

Posting Komentar

bookmark
bookmark
bookmark
bookmark
bookmark

followers

Pemikiran Islam

Pemikiran Islam
Committed to the Truth